Denpasar (ANTARA News) - Reformasi regulasi berbagai sektor ekonomi di Indonesia yang menentukan kemampuan dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia yang tengah mengalami fluktuasi, dinilai masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Pasifik lainnya. Australia, Kanada, Malaysia, Jepang, Taipei dan Taiwan, sudah melangkah lebih maju, sementara Indonesia dapat dikategorikan pada kelompok kedua, sehingga harus segera membenahi kebijakan perekonomian hingga menjadi relevan dan penting diimplememntasikan. Demikian terungkap pada pembukaan "APEC Seminar for Sharing Experiences in APEC Economies on Relations between Competition Authorities and Regulator Bidies" di Kuta, Bali, Rabu, yang diikuti 24 utusan dari 13 negara Asia Pasifik. Acara yang akan berlangsung tiga hari tersebut diawali pidato pembukaan oleh Dr Koki Arai, Acting Convenor of the CPDG dan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI, Dr Syamsul Maarif, sedangkan Menteri Perdagangan RI batal hadir. Menurut Koki Arai dalam jumpa pers selama 30 menit, setiap negara anggota APEC harus mempersiapkan kebijakan perekonomian yang dapat meredam berbagai gejolak perekonomian dunia, khususnya yang berdampak negatif bagi perekonomian masing-masing negara. Karena itu reformasi regulasi di Indonesia perlu segera ditingkatkan menjadi lebih baik, yang bisa dilakukan dengan belajar dari negara-negara yang sudah lebih maju, katanya. Syamsul Maarif mengakui bahwa reformasi regulasi di berbagai sektor industri, penerbangan, perkeretaapian, perkapalan, transportasi darat dan lainnya, masih perlu kerja keras untuk bisa mencapai kondisi yang diharapkan mampu menghadapi persaingan dan gejolak ekonomi dunia. Di sektor industri harus segera dibenahi aturan-aturan yang menyebabkan timbulnya biaya tinggi, pemberian kemudahan perizinan yang tidak lagi dikenakan berbagai biaya birokrasi dan peningkatan efisiensi guna meningkatkan kemampuan dalam bersaing. "Proteksi di berbagai sektor, termasuk dalam bentuk subsidi pertanian, secara bertahap juga harus dikurangi. Hanya saja pelaksanaannya perlu hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian dan gejolak," kata Syamsul. Koki Arai memberi contoh di negaranya, Jepang, yang secara bertahap mulai mengurangi proteksi dan subsidi sektor pertanian, terutama untuk budidaya yang sudah mampu menghadapi persaingan pasar global. Dalam upaya membenahi sektor perekonomian agar mampu menghadapi persaingan dan gejolak perekonomian dunia, menurut Syamsul, juga perlu diperhatian masalah kelembagaannya, bukan hanya pada tata aturan dan hukum yang berlaku. "Kita perlu lembaga pengawas sektor penerbangan, perkapalan, perkeretaapian, transportasi darat dan lainnya. Sama seperti Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) yang merupakan bagian dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)," tambahnya. Kegiatan tersebut akan menampilkan pembicara delegasi dari berbagai negara, dengan harapan antar-anggota ekonomi APEC bisa mendapatkan pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik untuk diterapkan di negara masing-masing tentang harmonisasi hubungan antara lembaga persaingan usaha dengan lembaga-lembaga regulator guna mencapai efektifitas kebijakan ekonomi yang komprehensif. Agenda reformasi kebijakan ekonomi sudah menjadi topik bahasan dalam berbagai forum kerjasama bilateral, regional dan multilateral. Dalam forum APEC, reformasi menjadi salah satu agenda prioritas dan strategis. Hal tersebut terlihat dari berdirinya APEC OECD Integrated Checklist yang merupakan salah satu "toolkit" bagi pengambil kebijakan dalam mengimplementasikan reformasi kebijakan.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008