Jakarta, (ANTARA News) - DPR dapat memahami langkah pemerintah menerbitkan Surat keputusan Bersama (SKB) mengenai perintah kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam. Hal tersebut merupakan kesimpulan Raker Komisi VIII (bidang agama) DPR dengan Menteri Agama Maftuh Basyuni, Mendagri Mardiyanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji di gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis. Raker yang dipimpin Ketua Komisi VIII Hazrul Azwar sepenuhnya membahas SKB yang diterbitkan pada 9 Juni 2008. Sebagian besar anggota Komisi VIII memberi apresiasi dan dukungan kepada kebijakan pemerintah, walaupun beberapa di antaranya, terutama Anggota Fraksi PDIP mempertanyakan, bahkan anggota Fraksi PDS menolak SKB tersebut. Sebagian anggota DPR juga menilai pemerintah lamban dalam menerbitkan SKB. Beberapa anggota DPR juga mendesak pemerintah meningkatkan SKB itu menjadi keppres. Komisi VIII DPR juga meminta pemerintah meningkatkan pembinaan keagamaan agar tidak aliran-aliran baru dalam kehidupan keagamaan. Menteri Agama Maftuh Bayuni mengakui pemerintah agak lamban menerbitkan SKB tersebut karena perlu memperhatikan berbagai aspirasi dan masukan. Menag menegaskan, kelambanan pemerintah bukan karena ada tekanan dari pihak di luar negeri. "Bukan karena ada Jaksa Agung AS yang datang kesini. Tidak benar ada tekanan dari luar negeri. Kita memang perlu kehati-hatian," katanya. Dalam menerbitkan SK tersebut, pemerintah menghadapi dua sisi, yaitu warga Ahmadiyah yang menjadi korban kekerasan dan warga lainnya yang merasa resah karena kegiatan Ahmadiyah. Mengenai peningkatan SKB menjadi keppres, Maftuh mengemukakan, pemerintah hanya bisa sebatas menerbitkan SKB yang merupakan amanat dari UU No.1/1965. Jaksa Agung Hendarman Supandji juga menyatakan, pertemuan dengan Jaksa Agung AS tidak membicarakan masalah Ahmadiyah. Yang dibicarakan hanya peningkatan kerja sama penegakan hukum. Mengenai penarikan buku-buku dan perlengkapan untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah, Jaksa Agung menjelaskan, hal itu merupakan agenda Bakorpakem. "Tetapi ada `claering house` yang akan membahas buku-buku yang apakah perlu dilarang," katanya. Terkait perlunya pemerintah menerbitkan SKB, Jaksa Agung menjelaskan, sebenarnya dengan menggunakan UU No.1/1965 pemerintah bisa menindak pengikut dan penyebar ajaran sesat. Akan tetapi diakui bahwa pengikut JAI cukup banyak, diperkirakan mencapai dua juta orang dan memiliki jaringan internasional, sehingga diperlukan SKB. "Berbeda dengan Lia Eden dan Al Qiada yang pengikutnya sedikit," katanya yang menambahkan untuk Lia Eden dan Al Qiada yang pengikut masih sedikit cukup ditangani kepolisian yang langsung melimpahkan kasus ke kejaksaan dan kejaksaan bisa langsung melakukan penuntutan. Mendagri Mardiaynto juga menjelaskan, pemerintah tidak tergesa-gesa menerbitkan SKB karena harus mempelajari situasi dan masukan dari berbagai pihak. "Kita menjaga iklim," katanya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008