Jakarta (ANTARA News) - Indonesia perlu segera meratifikasi Framework Convention of Tobacco Control (FTCT) mengingat dampak tembakau dan rokok yang telah mengkhawatirkan karena sudah menyentuh anak-anak dan remaja. "Sampai sekarang Indonesia belum meratifikasi FTCT yang sejak diadopsi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2003 telah ditandatangani oleh 155 dari 192 negara," kata Ketua DPR Agung Laksono di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu. Sejalan dengan hal itu, kata Agung, pimpinan DPR akan mendorong pimpinan fraksi-fraksi di DPR agar segera mempercepat proses ratifikasi FTCT tersebut. Dengan demikian, Indonesia segera memiliki "legal framework" yang kuat untuk menanggulangi masalah adiksi terhadap produk tembakau. Dalam kaitan itu pula, RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan yang diusulkan 259 anggota DPR juga perlu segera dimasukan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sebagai pembuat kebijakan publik, DPR harus bersikap arif dan bijaksana terhadap gejala-gejala negatif dari maraknya prilaku adiktif yang nyata terjadi di tengah masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Agung mengemukakan, angka-angka statistik memperlihatkan bagaimana seriusnya masalah kecanduan di kalangan masyarakat. Data Departemen Sosial (Depsos) menunjukkan terdapat 15 ribu kematian setiap tahun di antara pecandu narkotik. Dari 3,2 juta pengguna narkoba (yang tercatat), terdapat 80 ribu yang menggunakan jarum suntik dan 60% dari pengguna jarum suntik tersebut terkena HIV/AIDS. "Sementara itu, setiap hari di Indonesia, angka kematian berkaitan dengan kecanduan merokok mencapai 1.174 orang," katanya. Angka-angka itu berbicara dengan gamblang mengenai pentingnya mengambil tindakan bersama untuk mengatasi masalah ini. Kecanduan adalah perilaku menyimpang yang harus disembuhkan, apalagi ketika menghinggapi orang-orang muda usia produktif yang seharusnya menjadi kelompok penggerak kemajuan bangsa. Kecanduan terhadap zat-zat adiktif yang mengancam kesehatan seseorang ketika menjangkiti kelompok masyarakat secara massal merupakan ancaman terhadap bangsa. "DPR perlu bersikap jelas dalam mengatasi masalah kecanduan terhadap produk tembakau, meskipun kita juga mencacat pemasukan dari industri rokok nasional bagi APBN mencapai 5% ditambah ketersediaan lapangan kerja," kata Agung. Agung mengingatkan, besaran angka pajak industri rokok di dalam struktur APBN harus dibandingkan dengan potensi kerugian kesehatan, ekonomi, sosial dan lingkungan yang harus dihadapi masyarakat. Penghitungan terhadap biaya kesehatan akibat kecanduan, baik yang bersumber pada produk tembakau maupun zat-zat adiktif lainnya harus dihitung untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang masalah ini. "Pada akhirnya kita harus memilih dan mengambil solusi terbaik, untuk mencegah semakin terpuruknya sebagian generasi muda bangsa kita," kata Agung.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008