Oleh Bob Widyahartono, M.A.*) Jakarta (ANTARA News) - Menyambut gegap gempita penyelenggaraan Olimpiade 2008 di Beijing mulai 8 Agustus, pemerintah bersama rakyat China tampak semangat secara bersama menata berbagai prasarana fisik dan lingkungan hidup, agar udara diusahakan cerah, aliran air, listrik, sarana transportasi juga diharapkan selalu lancar. Itu termasuk strategi dasar berkelanjutan. Hal itu pula yang diperlihatkan Negeri Tirai Bambu tersebut saat bertekad mengatasi gempa bumi besar di Sichuan belum lama ini, dan terhitung penuh motivasi di semua lini. Kerja cerdas dan kerja keras (work smart and work hard) dengan investasi daya, dana dan waktu yang bukan asal-asalan, dan diinformasikan tetap diaudit dengan "sikap ketegasan good governance", agar seminim mungkin atau bahkan tidak ada penyimpangannya. Demikian pula, Produk Domestik Bruto (PDB)-nya negeri itu pun tetap melaju sejak 1992an, yakni senilai senilai 7% hingga 8%. Dilekati pula strategi kehati-hatian dalam menentukan nilai mata uang reminbi (RMB). Oleh karena itu, inflasi nasionalnya diperkirakan senilai 7% hingga 8% psds 2008, yang diperhitungkan para pengamat China bahwa terhitung tinggi walau ekonomi di Amerika Serikt (AS) goyah yang dikhawatirkan mengalami resesi. Oleh karena itu, kalangan elit dan pengamat di Indonesia agaknya perlu mencermati kebijakan ekonomi China yang dikenal dengan sistem gradualisme yang mantap. China melakukan sistem tersebut secara baku mulai 1978 sampai 1995 dengan ditandai devaluasi gradual RMB. Setelah pada 1995 dipatok nilai satu dolar AS disetara 8,321 RMB sampai Juli 2005, maka ada keberhasilan menarik Penanaman Modal Asing (PMA) dan peningkatan ekspor. Hasil empiris menunjukkan suatu keterkaitan positif antara PDB, PMA, ekspor dan kebijakan mata uang asing (foreign exchange policy). Kemudian, China setelah Juli 2005 melakukan pengendoran menjadikan satu dolar AS setara 8,11 RMB, dan dengan fleksibilitas di akhir tahun 2006 menjadi sedolar AS setara 7,99 RMB, serta Mei 2008 menjadi sekira RMB 6,992 per dolar AS. Strategi China, terutama sejak awal 1990-an, untuk membuka pasar bagi PMA dimantapkan (reinforced) untuk meningkatkan ekspor. Sejak awal reformasi ekonomi, China memberi tekanan bahwa PMA yang berinvestasi --baik perusahaan milik asing, kemitraan dalam ekuitas, dan usaha kerjasama-- diwajibkan untuk menghasilkan sebagian besar produknya untuk ekspor. Konsekuensinya adalah sebagian besar perusahaan asing terkonsentrasi di kawasan proses ekspor dan manufaktur dalam zona ekonomi khusus, kota-kota terbuka dan Pulau Hainan. Dari sisi investasi, PMA di China terus mengalir dan masih terkonsentrasi di sejumlah provinsi di kawasan Timur meliputi Guangdong, Shanghai, Tianjin, Fujian, Shangdong, Jiangsu, Zhejiang, Hainan, Liaoning dan Hebei. Pada 1995, jumlah investasi di kawasan Timur mencapai 88% dari jumlah PMA, dan Guangdong saja PMA-nya senilai 27%. Ketidakseimbangan itu lantaran Guangdong dan Fujian lebih dulu membuka diri pada 1980, sedangkan 14 kota di pantai baru empat tahun kemudian (1984), Pulau Hainan menyusul pada 1988, dan Zona Pembangunan Shanghai Pudong di tahun 1989. Kawasan Timur, dibandingkan dengan kawasan sentral di Barat negeri itu yang lebih dikenal dengan kawasan pedalaman (inland), lebih memiliki basis industrial dan pertanian lebih produktif. Selain itu, kawasan Timur memiliki sistem transportasi yang lebih efisien, memiliki sumber daya manusia yang lebih baik dan professional, serta aksesnya ke Hongkong lebih mudah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat urban makin didorong oleh peningkatan pemanfaatan sarana teknologi informasi (Internet, faksimile, telepon selular/ponsel) sebagai sarana berjaringan kerja untuk berbisnis dalam maupun internasional yang sejak tahun 1998-an sudah mulai dirakit (assembled), dan bahkan diproduksi di China. Peralatan tersebut relatif makin murah dan biaya operasinya rendah pula dibandingkan di Negara Industri Baru/NIB (New Industrial Coutries/NIC) Asia. Salah satu ciri yang paling normal dalam sistem gradual China adalah tingkat penabungan yang tinggi, dorongan ekspor, dan yang terhitung sangat penting berupa investasi dalam infrastuktur fisik dan manusia sebagai subyek sekaligus sebagai konsumen. Di China, perbandingan tabungan dalam dasawarsa 1990 terhadap pendapatan nasional (savings/Gross Domestic Product/GDP) adalah sekira 40 hingga 50% lebih tinggi dibandingkan rasio di negara berkembang lainnya yang berkisar 17%. Dengan rasio yang demikian tingginya itu, maka tabungan nasional yang merupakan prasyarat bagi investasi domestik, yang pada gilirannya pula merupakan faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi endogenous menjabarkan bahwa investasi dalam modal manusia tidak kalah pentingnya dengan investasi dalam infrastruktur fisik. Akumulasi modal manusia tercermin dalam berbagai bidang, terutama dalam kesehatan dan pendidikan. Peningkatan tingkat kesehatan rakyat berdampak pada peningkatan harapan hidup yang dibarengi pengurangan drastis dalam tingkat kematian anak-anak dan bayi. Tidak dapat disangkal bahwa kinerja ekonomi China selain mengungkapkan segi-segi positif juga berbagai kelemahan yang tidak dapat diabaikan dalam strategi pembangunannya. Salah satu ciri adalah keterbukaan termasuk daya tarik Penanaman Modal Asing (PMA), dorongan ekspor dan reformasi pasar uang. Di balik keberhasilan China, dalam hitungan pertumbuhan ekonomi, masih mewarisi berbagai kelemahan lain dari yang disebut di atas, yakni: (1) inefisiensi dan meruginya banyak industri milik pemerintah, (2) utang yang membelenggu lembaga-lembaga keuangan, (3) ketidakmerataan pembangunan regional, (4) degradasi lingkungan, dan ketidakmerataan pendapatan yang makin melebar. Serangkaian masalah tersebut kalau terlambat diatasi,maka dapat menghambat kemampuan China untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kelemahan untuk menghindari resesi ekonomi yang mendalam yang mungkin akan terjadi. Kelemahan tersebut sejak awal 2000-an secara gradual diatasi. Dengan menyadari disparitas antara kawasan Timur dan Pusat/Barat, maka proses keterbukaan China menunjukkan gairah gradualism (bertahap) pada pertumbuhan. Kalau China langsung membuka diri membiarkan persaingan internasional dalam sektor-sektor tersebut, maka bahaya potensial adalah belum mampunya menghadapi sejumlah gncangan yang merupakan ciri kapitalisme internasional. Apalagi, kalau pelaku bisnis China yang makin banyak ditumbuhkan dari masyarakat dan makin mengecilnya jumlah maupun peranan perusahaan milik negara (state owned enterprise). Meskipun demikian, China telah dan terus harus bersiap-siap menghadapi sekaligus menangani tantangan itu. Hal tersebut telah dicanangkan bukan melulu tugas pemerintah dan anggota pimpinan partai sampai ke daerah-daerah, tetapi pelaku ekonomi masyarakat (swasta), baik di kawasan Timur dan terutama kawasan Sentral/ Barat, harus senantiasa meningkatkan diri dalam kredibilitas dan kompetensi yang swasta dengan sumber daya manusia yang makin kompeten dalam menampung dampak keterbukaan itu. Kawasan Sentral/Barat dalam dasawarsa ini dan berikutnya, menurut para pembuat kebijakan pusat dan propvinsi di China, harus meningkatkan kesiapan dalam hal: (1) memberi skala prioritas dalam pembangunan sumber daya fisik dan akselerasi transfer industri pengolahan sumber daya alam dan industri padat karya, (2) penyesuaian tingkat harga sumber daya sedemikian rupa hingga mampu membangun kemandirian kawasan SentralBarat, (3) menyelenggarakan kemudahan sistem transfer dana dari pemerintah pusat, (4) mengakselerasi langkah reformasi dan mempersilahkan lebih banyak modal asing masuk ke kawasan, (5) memperkuat dukungan ke daerah=daerah miskin, (6) memperkuat kemitraan antara kawasan Timur dan Sentral/Barat. China jelas tidak semata-mata memusatkan kebijakan kepada pembangunan konstruksi infrastruktur fisik, seperti pembangunan dam untuk pembangikatan listrik, irigasi dan ketersediaan air minum, selain jaringan kereta api serta jalanan. Kawasan Sentral/ Barat juga mengutamakan peningkatan dan pemerataan pendidikan, pengembangan ilmu dan teknologi tepat guna, agar tidak sampai menimbulkan kesenjangan yang makin besar dengan kawasan Timur dan tetangga negara China. Pembangunan merupakan suatu misi yang secara historis sangat sulit, seperti halnya di China maupun banyak negara lainnya. Disadari bahwa kesulitan itu, antara lain karena kondisi alamiah atau aspek lingkungan ekologis. Selain itu, dapat ditelusuri dari serangkaian hambatan yang laten, yakni keadaan sosial kultural dan yang pada gilirannya menghambat pembangunan mutu kehidupan dan penghidupan yang bermukim di kawan Barat negeri itu. Meskipun demikian, China bertekad mengejar ketertinggalan kawan bBrat itu yang dicanangkan berdasarkan suatu perencanaan tiga tahapan, yakni tahap pertama pada 2000-2010, tahap kedua pada 2011-2030 dan tahapan ketiga di tahun 2031-2050. Pada pertengahan abad ke-21, China mencanangkan mencapai tahap modernisasi, kawasan Barat akan sederajat dalam menikmati kemakmuran ekonomi, dengan pendapatan per kapita untuk kawasan Barat di atas 5.000 dolar AS untuk mengejar menjadi sejahtera yang dibarengi kesatuan nasional, kemajuan sosial dan lingkungan alam yang indah, tidak tercemari oleh polusi. Road map tersebut tidaklah mungkin hanya dikerjakan oleh Pemerintah China, apalagi dengan menyadari jumlah penduduk 1,3 milyar yang membuat tekanan pada pendidikan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sangat penting, apalagi dalam keterbukaan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang merata. Disadari bahwa kelemahan dalam infrastruktur merupakan hambatan bagi pembangunan kawasan Barat negeri itu. Dewan di kawasan tersebut mempertegas kebijakan dalam investasi yang lebih mantap, dengan titik berat pada jaringan lalu-lintas dan transportasi, jaringan telekomunikasi, dan jaringan penyediaan listrik. Suatu rencana yang menurut persepsi orang luar China agak ambisius adalah membangun jaringan kereta api baru sepanjang 20.000 kilometer dalam jangka waktu 20 tahunan sejak 2000. Kalau sampai dapat diwujudkan, maka China akan memiliki berbagai jaringan kereta api Utara-Selatan, termasuk Baotou-Liuzhou, Lanzhou-Chongqing dan Lanzhou-Kuming. Selain itu jaringan Timur-Barat yang menyusuri Sungai Yangtze, Xi’an-Heifei-Nanjing, Zhongwei-Taiyung, dan Baotou-Hami. Rencana pembangunan jalan raya di kawasan Barat mencakup pembangunan dan perbaikan sepanjang 350.000 kilometer (termasuk 15.000 kilometer jaalanan berkategori lebih tinggi). Dengan mengawali rencana yang diharapkan selesai pada 2020, maka langkah program berikutnya adalah pembangunan jaringan jalan yang dimodernisasi di kawasan Barat menjelang pertengahan abad 21. Dalam penerbangan sipil, China menetapkan kebijakan jaringan jalur penerbangan yang meliputi seluruh negara dan di kawasan Barat dengan titik sentralnya Urumqi, Kunming, dan Chengdu, kemudian diperluas kearah Wuhan, Harbin dengan pesawat kecil yang memadai. Tekad China secara gradual adalah mewujudkan strategi jangka panjang memasuki pertengahan abad 21 menjadi negara maju, dengan menjanjikan kemakmuran ekonomi, rakyatnya menjadi makmur, dibarengi dengan kesatuan bangsa, kemajuan sosial budaya dan mulai mantapnya berdemokrasi dan damai dengan lingkungan alam yang makin indah. Hal itu pernah diucapkan Presiden Hu Jintao beberapa tahun lalu, yakni "... tiada sosialisme tanpa demokrasi, dan tiada demokrasi tanpa sosialisme. Demokrasi dan sosialisme dengan karakteristik bangsa China." (*) *) Bob Widyahartono, M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi/Bisnis Asia Timur, dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta. Referensi lebih jauh berkaitan dengan telaah ini: - CHEN Dong-Sheng (2001), "Problems of Economic Development in Inland China And the Strategy for Developing the Western Region", Institute of Developing Economies IDE-JETRO, Japan, - BRAHM, J. Lawrence (2001), "China’s Century : The awakening of the next economic Powerhouse", John Wiley and Sons (Asia) Pte, Ltd. Singapore, - McKinsey Quaterly (2004), "China Today", New York, USA, - Joshua Cooper Ramo (2004) “ The Beijing Consensus”, The Foreign Policy Centre , London, England.

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008