Jakarta (ANTARA News) - Eksepsi atau nota keberatan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah dan tim penasihat hukumnya, Rabu, ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Majelis menyatakan sebagian keberatan dalam perkara dugaan penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) sebesar Rp100 miliar itu telah memasuki pokok perkara, sehingga membutuhkan pembuktian lebih lanjut. Nota keberatan yang diajukan oleh Burhanuddin dan tim penasihat hukumnya antara lain menyatakan bahwa Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah salah menerapkan hukum dengan mengkriminalisasi suatu kebijakan. Burhanuddin dan penasihat hukumnya mendasarkan keberatannya pada pasal 45 UU BI yang menyatakan, Gubernur BI, Deputi Gubernur BI, serta pejabat BI tidak dapat dihukum karena mengambil kebijakan dan keputusan yang sejalan dengan tugas dan kewenangan. Selain itu, tim penasihat hukum menyatakan, pemberian dana YPPI itu adalah bentuk pinjaman, dan aliran dana itu diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) sehingga bukan keputusan pribadi. Terhadap materi keberatan tentang keputusan aliran dana YPPI telah disetujui oleh RDG, majelis hakim menyatakan hal itu sudah memasuki pokok perkara sehingga tidak sesuai dengan substansi eksepsi, seperti diatur dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP. Sedangkan terkait keberatan tentang kesalahan penerapan hukum dengan mengkriminalisasi kebijakan, hakim Made Hendra menyatakan hal itu harus dibuktikan dalam sidang, sehingga tidak sesuai dengan materi eksepsi. "Keberatan itu dinyatakan tidak dapat diterima," katanya. Hal yang sama juga diungkapkan majelis hakim terhadap keberatan yang menyatakan bahwa aliran dana YPPI kepada mantan pejabat BI adalah pinjaman sehingga harus diselesaikan secara perdata. Menurut majelis, kebenaran tentang hal itu harus dibuktikan dalam persidangan. Sebelumnya, KPK telah menetapkan lima tersangka dalam kasus aliran dana Bank Indonesia, yaitu mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, mantan Deputi Direktur Hukum BI Oey Hoy Tiong, dan mantan Kepala Biro Gubernur BI, Rusli Simandjuntak, yang kini menjabat Kepala Perwakilan BI di Surabaya, mantan anggota DPR Antony Zeidra Abidin, dan anggota DPR Hamka Yandu. Burhanuddin Abdullah, Oey Hoy Tiong, dan Rusli Simandjuntak kini sudah berstatus terdakwa. Berdasar laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus dana BI bermula ketika rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar. Oey diduga menyerahkan dana YPPI sebesar Rp68,5 miliar kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawiranata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo. Pada pemeriksaan di KPK, Oey mengaku menyerahkan uang tersebut kepada para mantan pejabat BI. Namun, Oey mengaku tidak tahu lagi ke mana uang tersebut setelah diserahkan kepada mereka. Sedangkan uang senilai Rp31,5 miliar diduga diberikan oleh Rusli Simandjuntak dan Aznar Ashari kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Pada pemeriksaan di KPK, mantan ketua sub panitia perbankan Komisi IX DPR, Antony Zeidra Abidin, yang disebut menerima uang itu dari Rusli, membantah aliran dana tersebut. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008