Jakarta (ANTARA News) - Perpusatkaan Nasional (Perpusnas) RI baru menerima sekitar 4.000 judul buku baru setiap tahun dari Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sebagai prasyarat UU No 4/1990 tentang Wajib Serah Simpan Karya Cetak dan Karya rekam (KCKR), kata Kepala Perpusnas Dady P Rachmananta. "Seharusnya dengan jumlah penduduk Indonesia mencapai 220 juta jiwa dan banyaknya penerbit khsusnya milik instansi pemerintah dan swasta di luar anggota Ikapi agar dapat menyerahakan karyanya sesuai amanat UU No 4/1990," katanya dalam Temu Kerja Sosialisasi UU No 4/1990 di Jakarta, Rabu. Dady mengharapkan, kesadaran dari para penerbit khususnsya milik pemerintah yang masih belum banyak menyerahkan dua eksemplar setiap peneribitan buku dan karya rekam baru kepada Perpusnas untuk dilestarikan dan dikenalkan kepada masyarakat luas sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut dia, dalam UU No 4/1990 tersebut disebutkan sanksi bagi pengelola penerbitan buku/tabloid/majalah/koran/buletin, dan pengelola perusahaan rekaman audio, video dan film yang tidak bersedia menyerahan copi karya terbarunya ke Perpusnas, maka dapat dikenai sanksi hukum berupa denda maksimal Rp5 juta atau atau kurungan penjara selama 6 bulan. Kendati demikian, Perpusnas tidak akan menggunakan pendekatan hukum, tapi akan terus menerus menyosialisasikan kewajiban menyerahkan copi terbitan atau hasil rekam terbaru dengan pendekatan persuaif, agar para pengelolanya bersedia menyerahkan kewajiban tersebut ke Perpusnas. "Jika penerbit atau perusahaan rekaman tak memiliki anggaran untuk biaya pengiriman, maka staf Perpusnas kana mengambil terbitan terbaru atau karya rekaman terbaru yang beralamat di Jabodetabek, sedang di luar daerah tersebut maka biaya pengiriman bisa dibicarakan," katanya. Dady berharap, kepada seluruh peserta temu kerja sosialisasi UU No 4/1994 khususnya dari anggota Ikapi dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) agar ikut mendorong anggotanya untuk menyerahkan copi karya terbaru sebagai kewajiban perintah UU No 4/1990 guna melestarikan hasil karya bangsa Indonesia dan memperkenalkan dalam bentuk judul dan pengarangnya kepada masyarakat luas. Sementara itu, Direktur Eksekutif SPS Pusat, Asmono Wikan dalam makalahnya mengatakan, hambatan pelaksanaan UU No 4/1990 antara lain masih banyaknya penerbit media cetak (suratkabar, tabloid, majalah) yang belum memahaminya UU tersebut akibat kurangnya informasi dari sosialisasi UU itu khususnya penerbit di daerah. "Hambatan lain yakni tingginya tarif pengiriman barang dari daerah ke pusat, membuat banyak penerbit enggan mengirim karya cetak mereka ke Perpusnas secara reguler," katanya. Asmono mengusulkan, untuk menghilangkan hambatan pengiriman terbitan baru ke Perpusnas, maka perlu sosialisasi terus menerus keberadaan UU No 4/1990 terutama bagi penerbit media cetak di daerah serta perlunya jalan tengah guna menyiasati kian mahalnya ongkos kirim media cetak. "SPS terus mendukung pelaksanaan UU No 4/1990 untuk mendorong peningkatan pencerdasan bangsa, antara lain SPS akan kembali mengirimkan surat imbauan kepada seluruh penerbit anggota SPS, agar mematuhi pelaksanaan UU tersebut," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008