Pontianak (ANTARA News) - Larangan terhadap sejumlah produk impor asal China karena mengandung bahan berbahaya, menjadi peluang pangan hasil olahan dalam negeri. "Produk-produk lokal masih banyak dan kualitasnya juga dijamin," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kalimantan Barat, Ida Kartini di Pontianak, Kamis. Ia mengatakan, pencegahan terhadap produk pangan berbahaya seperti dari China sulit dilakukan tanpa partisipasi dari pihak importir serta distributor. "Misalnya di Kalbar, importirnya semua ada di Jakarta. Masuk ke Pontianak menggunakan kontainer sehingga sulit dilakukan pengawasan," kata Ida Kartini. Menurut dia, kalau produk pangan tersebut sudah dijual di pasar umum, sulit untuk melakukan penyisiran kembali. Pemusnahan terhadap produk-produk pangan berbahaya yang disita petugas belum menjamin tidak ada lagi yang beredar di pasaran. "Kami minta pelaku usaha punya tanggung jawab moral untuk produk yang dapat membahayakan konsumen," kata dia menegaskan. Ia menambahkan, pelaku juga jangan menjual produk pangan yang tidak layak konsumsi ke pasaran. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dapat menginformasikan secara segera dan jelas produk-produk pangan yang dilarang diperjualbelikan. "Jangan sampai produk-produk pangan yang berbahaya beredar luas di Indonesia," katanya. Pemberian sertifikasi terhadap setiap produk pangan impor dianggap penting karena dapat mencantumkan kualitas dan kelayakan. "Kalau memenuhi kualitas dan layak dikonsumsi, produk tersebut boleh masuk ke Indonesia," kata Ida Kartini. Pada 23 September 2008, Kepala BPOM memerintahkan penarikan 28 jenis produk makanan dan pengamanan mengandung susu dari China yang antara lain berupa yogurt, biskuit, coklat dan kembang gula. Dari ke-28 jenis produk makanan tersebut hanya delapan diantaranya yang teregistrasi di BPOM yakni susu Guozhen, yogurt Yinwei Yoguo, Indo Eskrim Meiji Gold Monas, kembang gula Dove Choc, Oreo Wafer Stick dan Chocolate Sandwich serta kembang gula coklat susu M&Ms.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008