Jakarta (ANTARA News) - Mungkin baru sekarang, bagian terbesar media massa Amerika Serikat serempak bersikap "partisan" dengan memilih Barack Obama sebagai Presiden AS. Bukan hanya media terkemuka seperti Washington Post, New York Times atau Los Angeles Times, tapi juga sejumlah media massa yang selama puluhan tahun enggan berpihak pada salah seorang kandidat presiden AS. Orang Amerika tak terkejut jika New Republic membela mati-matian Obama, tapi jika Chicago Tribune yang lebih dari sebad tak pernah mendukung Demokrat kini tiba-tiba mendukung Obama, tentu itu mengejutkan. Selama 161 tahun, koran yang berbasis di Illinois, negara bagian di mana Obama menjadi senator, bertahan dengan garis republikennya, sama dengan tiga koran republiken lainnya yang kini mendukung Obama. Mereka adalah The Eagle dari Texas, Stockton Record yang sejak 1930-an tak mau menyebelahi Demokrat dan Denver Post yang dimiliki pembela setia Presiden George Bush, Bill Singleton. Bahkan, majalah Esquire yang tak penah ikut dukung mendukung capres, menyatakan berpihak pada Obama. Mereka menulis "Obama for President" dalam editorialnya, seolah tak mau ketinggalan dari puluhan selebritis top AS, 62 ilmuwan peraih Nobel, dan para konglomerat seperti Rupert Murdoch yang televisinya, Fox News, berperan besar dalam memenangkan Bush dalam Pemilu 2000 melawan Al Gore. Pernyataan paling mengejutkan datang dari dalam kubu Republik sendiri, diantaranya dari pahlawan Perang Teluk, Jenderal (purnawirawan) Colin Powell. Mantan menteri luar negeri ini adalah salah seorang negarawan paling dihormati di AS. Republiken lain yang berbelok ke Obama adalah mantan juru bicara Gedung Putih Scott McClellan dan Ken Adelman, seorang tokoh neokonservatif dan sahabat dari para sahabat McCain (Wapres Dick Cheney, Donald Rumsfeld dan Paul Wolfowitz). Kepada New Yorker, Adelman menyatakan, ia tetap seorang neokonservatif yang tak pernah mendukung seorang Demokrat menjadi Presiden AS sampai kemudian ia melihat McCain tak berdaya di setiap debat dengan Obama. "Ia tergesa-gesa, mencla mencle, dan gegabah (karena tertekan). Bagi saya, seorang presiden (AS) tidak boleh bertindak karena tekanan," kata Adelman. Powell juga mengkritik kelemahan McCain dengan memotret kelebihan Obama. "Saya melihat Obama sangat siap, mempunyai minat intelektual, pengetahuan dan pendekatan yang mendalam ketika menawarkan solusi untuk setiap masalah, termasuk dalam memilih wakil presiden yang saya anggap siap mengemban tugas presiden (jika presiden berhalangan)," kata Powell merujuk Cawapres Demokrat Joe Biden. Sebaliknya, tokoh Republik terkenal, Pat Buchanan, menyebut dukungan Powell pada Obama itu karena dilatarbelakangi persamaan warna kulit. Namun, bagi mereka yang mengenal Powell luar dalam seperti Lawrence Wilkerson --mantan Kepala Staf Deplu semasa Powell menjadi Menlu-- klaim Buchanan itu malah menguatkan dugaan bahwa kubu McCain rasis. "Saya mengenal Powell sampai ke tulang sum-sum. Dukungannya pada Obama diambil karena ia seorang pragmatis dan patriot yang amat peduli terhadap reputasi Amerika di dunia, bukan karena dia berkulit hitam," tulis Lawrence dalam Daily News (22/10). Keterlaluan Orang Amerika percaya, Obama akan diserang habis-habisan lewat jurus ras, termasuk agama. "Rasisme adalah satu-satunya faktor yang membuat McCain mampu mengalahkan Obama pada 4 November nanti," kata Jacob Weisberg, Pemimpin Redaksi Slate dan penulis "The Bush Tragedy." Mengutip pol CBS/New York Times tentang kecenderungan suara warga kulit putih, Jacob mengkritik sikap rasis warga AS, padahal kualitas Obama lebih terang dibanding warna kulitnya dan jauh lebih cemerlang dibanding McCain. Kualitas kepemimpinan dan kepiawaian menawarkan solusi pada bangsanyalah yang membuat Powell, Adelman dan banyak lagi, serta pers menyokong Obama. "Bangsa ini menghadapi krisis keuangan terparah dalam sejarah akibat kebijakan-kebijakan yang salah dan perangkap utang selama delapan tahun (pemerintahan Bush), maka itu Amerika harus keluar dari krisis ini. Dan Barack Obama adalah orang yang akan memimpin Amerika (keluar dari krisis)," demikian editorial The Boston Globe. Chicago Tribune yang baru sekali mendukung seorang warganegara AS menjadi Presiden AS, yaitu Abraham Lincoln dari Republik pada 1860, menyamakan Obama dengan Lincoln. "Ketika pada Konvensi Demokrat Obama berkata 'kita bukanlah bangsa untuk (sekumpulan) negara bagian merah dan negara bagian biru' maka dia berbicara sama dengan bagaimana Lincoln mempersatukan AS. Oleh karena itu, dengan bangga kami mencantumkan nama Obama dalam daftar orang yang didukung The Tribune sebagai presiden Amerika Serikat." Tampaknya di balik dukungan-dukungan itu, ada kekhawatiran dan kemarahan massal terhadap kubu Republik yang cenderung berbuat apa saja demi kekuasaan, seperti membesar-besarkan isu warna kulit, agama, bahkan menuduh Obama mengancam kapitalisme AS. "Saya memahami sekali politik, tetapi tuduhan bahwa Obama sosialis dan teroris sudah keterlaluan," kata Colin Powell. Kubu McCain bahkan mengutik-utik nama "Obama" yang disebut mereka aneh dan terdengar janggal dibandingkan nama para mantan presiden AS sebelumnya. Mereka juga memelesetkan Obama dengan Osama (bin Laden), tidak saja karena mirip, tetapi karena masa kecil Obama dekat dengan Muslim, memiliki ayah Muslim dan pernah tinggal di negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia. Saling membutuhkan Beberapa kalangan menduga, jika rasisme tak berhasil menghancurkan popularitas Obama, maka isu terorisme akan dimanfaatkan untuk menghempaskan capres Demokrat ini. Sejumlah tokoh Republik dan pihak yang tak menginginkan Obama menang (termasuk kelompok garis keras di Israel) diam-diam "memimpikan" munculnya lagi Osama bin Laden di televisi AS seperti terjadi pada Pemilu 2004, empat hari sebelum rakyat AS memilih John Kerry dan George Bush. Editor Jurnal "Foreign Policy" Joshua Keating dan kolumnis "Boston Globe" Peter Canellos mengingatkan, Osama mungkin mengulangi aksi empat tahun silam saat berhasil memaksa warga AS memilih Bush ketimbang John Kerry dari Demokrat. Bagi Osama, presiden AS yang gemar mengancam seperti Bush lebih menguntungkannya dibanding presiden yang gemar berdialog. "Faktor terbesar yang membuat McCain dipilih sebagai capres Republik adalah karena ia dipercaya sebagai orang terbaik yang bisa membuat negeri ini aman dari serangan teroris," kata Joshua. Sementara Peter menyebut keberhasilan Osama membelokkan opini publik pada Pilpres 2004 mungkin diulanginya terhadap Obama, apakah dengan menyiarkan lagi video atau bahkan meneror langsung bumi Amerika. Ironisnya, penasihat senior John McCain, Charlie Black, kepada majalah Fortune Juni lalu menyatakan, serangan Osama terhadap AS akan menjadi "keuntungan besar" bagi McCain. Charlie memang kemudian mengeluarkan bantahan, tapi diam-diam banyak orang AS mempercayai Osama bakal meneror lagi Amerika. Dua hari lalu, sejumlah tempat dan kantor di AS diteror amplop berisi bubuk maut seperti terjadi pada Oktober 2001 saat AS dihinggapi paranoia kronis terhadap terorisme Alqaeda. Mungkin saja Osama memang ingin "mengail" kembali di pemilu AS karena ia menginginkan presiden AS berikutnya bisa menyuburkan radikalisme Islam di seluruh dunia. Jika McCain menjadi presiden AS, maka Osama diuntungkan karena McCain yang dipercaya bakal meneruskan kebijakan "main gertak" ala Bush, akan memupuk kemarahan umat Muslim sehingga Osama bisa terlihat lagi sebagai pahlawan di mata Muslim. "Adalah lebih sulit mencap Amerika Serikat sebagai 'Setan Besar' jika presidennya dihormati dunia internasional," tulis William Bratton (mantan kepala Kepolisian New York, NYPD) dan RP Eddy (mantan direktur kontraterorisme Dewan Keamanan Nasional, NSC) dalam Daily News. Tak jelas siapa sebenarnya yang berskenario, tapi tampak ada perekat yang aneh antara terorisme dengan kontraterorisme, keduanya saling menghancurkan tapi juga saling membutuhkan. Oleh karena itu, sebagian rakyat AS mempertanyakan motif di balik perang melawan terorisme dan lelah dengan perang. "Rakyat Amerika tak membutuhkan sosok pendekar seperti McCain untuk memimpin Gedung Putih," kata Peter Canellos. (*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008