Jakarta (ANTARA News) - Mungkin terlalu berlebihan menyatakan Amerika Serikat sebagai satu-satunya penyelamat ekonomi dunia dari deraan krisis, tetapi faktanya, belum ada warna sistem perekonomian global yang sedominan AS sehingga menentukan ekonomi global yang sekarang lagi terancam resesi akbar. Oleh karena itu, ketika Senator Barack Hussein Obama Jr terpilih sebagai Presiden AS ke-44, hal pertama yang ingin dilihat dunia darinya adalah bagaimana kapasitas itu dikelola sehingga krisis global bisa segera dijinakkan. Dunia ingin melihat rupa kebijakan ekonomi Obama karena mereka sudah menganggap krisis ekonomi AS sebagai penyakit menular yang bisa membuat yang ditulari lebih menderita daripada penularnya sendiri. Tidak heran, pemerintah banyak negara tidak sabar menunggu nakhoda baru kapal ekonomi AS mendatang diumumkan karena dari dialah dunia bisa memetakan ke mana perekonomian AS dan dunia dibawa oleh Presiden kulit hitam pertama AS itu. Ada beberapa nama yang mungkin menjadi Menteri Keuangan AS era Obama, tetapi Timothy "Tim" Geithner dan Lawrence "Larry" Summers adalah dua calon terkuat untuk jabatan itu. Tim adalah Gubernur Federal Reserve New York, sedangkan Larry adalah mantan Menteri Keuangan semasa Bill Clinton dan salah seorang dari Trio Penyelamat ekonomi AS dari terkaman krisis ekonomi Asia tahun 1998. Selain mereka, nama Paul Volcker, ekonom veteran dan mantan Gubernur The Fed era Jimmy Carter dan Ronald Reagan, masuk dalam daftar kandidat Menteri Keuangan pemerintahan Obama. Juga mantan Ketua Dewan Penasehat Ekonomi semasa Presiden Bill Clinton, Laura Tyson. Tetapi, kabarnya perhatian Obama tertambat pada Tim dan Larry, dua orang yang sebenarnya murid dan guru karena sewaktu sama-sama bekerja di Departemen Keuangan, Larry adalah mentornya Tim. Sejumlah investor global pilihan Reuters pun menjagokan kedua orang ini bakal mengomandani armada ekonomi AS yang terancam tenggelam oleh lautan kredit macet dan badai krisis kepercayaan itu. Uniknya, kedua orang ini adalah kabar baik bagi Asia mengingat mereka sangat akrab dengan Asia karena dikenal memiliki pandangan bahwa Asia adalah kiblat ekonomi dunia sehingga perekonomian AS sangat mungkin akan lebih condong ke kawasan ini. John Hughes, Asisten Menteri Luar Negeri AS era Presiden Ronald Reagan malah secara spesifik menyebut China dan India sebagai prioritas tertinggi pemerintahan Obama. Ini karena, bersama negara-negara Asia Timur lainnya serta Asia Tenggara, China dan India telah menjadi aktor-aktor sangat penting dalam sistem perputaran modal global di mana mereka juga menguasai asset-asset strategis AS. John Hughes bahkan menyebut China sebagai "bank"nya AS karena negeri ini telah "memodali" ekonomi AS untuk menghindarkan diri dari krisis kredit yang lebih parah. Dan Tim Geithner dan Larry Summers memahami kondisi, kekuatan dan potensi ekonomi Asia ini. "Bagi Asia, Summers adalah mercusuar. Pandangannya tentang pentingnya mencermati pertumbuhan ekonomi Asia, tantangan globalisasi dan bahaya defisit transaksi berjalan AS yang bergunung-gunung, telah dipahami luas oleh para pengambil kebijakan dan ekonom," kata kolumnis New York Times, Heather Timmons. Tak seperti ekonom-ekonom Republik yang rata-rata pemeluk kapitalisme klasik neoliberal, kedua intelektual tangguh ini kerap menyarankan pemerintah turun mengintervensi praktik ekonomi. Pandangan mereka dapat mendorong tegaknya moralitas dalam sistem transaksi modal lintas negara, namun juga berpotensi merugikan negara-negara berorientasi ekspor seperti China dan Indonesia karena di bawah mereka ekonomi AS menjadi lebih protektif. Lain dari itu, program disinsentif pajak pada korporasi besar yang menjadi salah satu pesan perubahan dari Obama, bisa mengerem ekspansi bisnis korporasi multinasional AS di seluruh dunia yang akhirnya mengikis penerimaan pajak dan memukul para kerja di negara-negara di mana korporasi itu beroperasi. Luwes Bisa jadi skenario itu mengada-ada, namun jika sedikit saja mengenal latarbelakang dan orientasi pemikiran para intelektual calon Menteri Keuangan AS nanti, khususnya Tim Geithner dan Larry Summers, maka skenario-skenario itu memang terpetakan. Mari mulai dari Timothy Franz Geithner. Wakil Ketua Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC), institusi penentu kebijakan moneter AS, ini pernah tinggal di India, Thailand, China dan Jepang, bahkan menamatkan SMA di Bangkok, Thailand. Tak heran, seperti Obama, dia mengenal dekat Asia. Tim Geithner, yang seumuran dengan Obama, bukanlah lulusan murni fakultas ekonomi karena dia lebih bisa disebut alumnus Hubungan Internasional yang spesialisasinya ekonomi internasional. Ia lulus sarjana muda ilmu pemerintahan dan studi Asia dari Dartmouth College, kemudian menggondol Master of Arts (MA) dari Universitas John Hopkins dalam program ekonomi internasional dan studi Asia Timur dengan kekhususan Jepang dan China. Tim Geithner memiliki sikap yang lebih luwes ketimbang Larry Summers yang kurang merepresentasikan semangat bipartisan dalam pemerintahan Obama. Ia pernah bekerja di Departemen Keuangan semasa Bill Clinton, namun ia juga mendampingi Republik sebagai Gubernur Federal Reserve New York, sehingga kehadirannya di kabinet akan didukung Republik. "Para ekonom melihat Geithner mampu menangani dengan baik krisis keuangan. Sebagai orang kepercayaan Menkeu Henry Paulson, ia menjadi sentral dalam pola penanganan cepat krisis keuangan sekarang," tulis Lisa Lerer dan Victoria McGrabe dari Politico (7/11). Dengan reputasi mengeksekusi kebijakan setinggi itu, ditambah latar belakang dan visi globalnya, Tim Geithner bisa menjadi perancang sekaligus eksekutor kebijakan ekonomi yang bisa membuat Obama nyaman. "Tim secara konsisten selalu masuk dalam daftar calon menteri keuangan pemerintahan Obama," demikian Huffington Post. Bahkan, The Daily Telegraph (6/10) menyebut Obama sangat mungkin memilih Tim sebagai pengganti Henry Paulson karena ia dianggap bertangan dingin dan berjasa menyelamatkan ekonomi AS dari krisis tahun lalu. Tim juga menggambarkan janji perubahan yang diikrarkan Obama karena intelektual muda ini tidak akan menawarkan kebijakan ekonomi konservatif dari Republik yang senang meliberalisasi pasar seluas-luasnya. Moral Mengenai Larry Summers, jangan ragukan reputasi dan kualitas ekonom brilian ini, baik sebagai pemikir, konseptor maupun eksekutor kebijakan ekonomi. Seperti ekonom Joseph Stiglitz yang meraih Nobel, Larry adalah pembela posisi negara berkembang dan sering menuntut negara maju bertanggungjawab atas kesalahan yang terjadi selama ini. Sebaliknya, bagi pendukung kapitalisme klasik, Larry adalah musuh pasar bebas dan globalisasi, apalagi ia memang sering mengkritik keduanya. Ia bahkan "mengompori" negara berkembang untuk menuntut negara maju memberi kompensasi bagi apa yang telah negara-negara berkembang berikan kepada negara maju. "Larry adalah intelektual yang sangat menggugah dan pemikir yang tidak kaku," kata Isher Judge Ahluwalia, ekonom dari Indian Council for Research on International Economic Relations. Tidak seperti para ekonom konservatif AS yang memuja kapitalisme murni, Larry adalah kreator dan pembela intervensi negara dalam perekonomian seperti diajarkan ekonom akbar, John Maynard Keynes. Pada 1998, bersama Menkeu Robert Rubin dan Gubernur The Fed Alan Greenspan, Larry pernah mengaransemen bailout lembaga pengelola dana raksasa Long Term Capital Management (LTCM) untuk menghindari ambruknya sistem keuangan AS. Dan itu ternyata sukses. Tidak heran jika ia kini menyokong dan kabarnya menjadi salah seorang inisiator bailout 700 miliar dolar AS untuk sistem keuangan AS yang didukung Obama namun diam-diam ditolak John McCain dan Presiden Bush itu. Dalam tulisannya di Washington Post pada 29 September 2008, Lawrence membela proposal bailout senilai 700 miliar dolar yang sempat mau digagalkan Kongres yang didominasi Partai Republik itu. "Ketika kepercayaan konsumen, sektor keuangan dan bisnis merosot, maka itu bukan masa bagi pemerintah untuk menarik diri (menolak intervensi)," tandas Larry. Larry juga kerap menelanjangi mentalitas main terabas para pemain sistem keuangan yang jor-joran menyalurkan kredit perumahan kepada nasabah yang tidak layak dipinjami dana bank. Ekonom top Universitas Harvard ini juga mencibir pandangan kapitalisme ortodoks bahwa kompetisi murni dan globalisasi pasar akan menyebarkan kemakmuran ke segala penjuru masyarakat, termasuk kaum miskin. "Dia ingin mengatakan globalisasi hanya menciptakan kompetisi antar warga Amerika," sebut The Financial Times (14/5). Bagi negara berkembang, termasuk Asia dan Indonesia, paradigma manajemen ekonomi publik yang dibawa kedua orang itu, khususnya Larry Summers, menjanjikan hadirnya satu sistem hubungan ekonomi internasional yang didasari aturan dan disiplin yang mampu mengikis ketimpangan dan prilaku rakus. Namun, pemikiran tidak mengharamkan intervensi pemerintah demi memperkuat industri domestik yang dipromosikan kedua ekonom itu, bisa membuat ekonomi AS lebih sulit ditembus ekspor. Selain itu, terutama bagi para pengejar pertumbuhan ekonomi yang mengesampingkan cara berbisnis sehat, baik Tim maupun Larry bisa membuat AS berubah amat moralistis dan bertele-tele. Bukan hanya karena kedua orang itu ingin mendisiplinkan pasar yang kini cenderung liar dan tak bertanggungjawab, tapi juga karena spirit pemerintahan Obama akan dibalut tebal oleh moral dan etika dengan melindungi hak-hak buruh, menghormati hak asasi manusia, mengentaskan kemiskinan, menyelamatkan lingkungan dan mengikis korupsi. "Akan saya tunjukkan pada dunia bahwa Amerika jujur pada nilai-nilai asasinya. Kita tidak hanya memimpin dunia demi kita namun juga demi kebaikan bersama (yang dipahami dunia)," tulis Obama dalam jurnal Foreign Affairs edisi Juli/Agustus 2007. (*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008