Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendera berpendirian bahwa biaya akses sistem administrasi badan hukum (Sisminbakum) di departemen yang pernah dipimpinnya itu bukan termasuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Dalam blognya di http://yusril.ihzamahendra.com yang di-"posting"-nya pada 17 November 2008, mantan menteri era presiden Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri itu mengatakan, biaya akses Sisminbakum adalah harga yang harus dibayar oleh pelanggan, dalam hal ini notaris.

"..,karena mereka menggunakan jalur IT yang dibangun oleh swasta dan koperasi. Sama halnya jika pengguna jalan ingin menggunakan jalan tol, mereka membayar biaya tol kepada perusahaan swasta yang membangun dan mengoperasikan jalan tol itu," tulis Yusril.

Menurut Yusril, Sisminbakum dibangun sebagai upaya Depkumham membenahi sistem pelayanan dan keinginan itu sudah ada sejak Prof. Muladi menjadi Menteri Kehakiman, namun waktu itu baru dikaji dan belum dilaksanakan.

"Di era saya, upaya ini diteruskan sampai akhirnya diputuskan untuk membangun sistem administrasi badan hukum atau Sisminbakum itu," katanya.

Sesuai arahan presiden waktu itu, Depkumham berusaha mengundang swasta untuk menanamkan modal membangun jaringan itu. Sementera itu, Koperasi Pengayoman tidak memiliki modal yang cukup, selain tidak mempunyai tenaga ahli membangun dan mengoperasikan jaringan itu.

Dalam suasana krisis ekonomi masa itu (1999/2000), ia mengemukakan, tidak mudah mencari swasta yang mau menanamkan modal di bidang IT. Hanya ada dua perusahaan yang berminat menanamkan modal dan setelah dinilai, maka diputuskan agar koperasi bekerjasama dengan PT SRD membangun jadingan itu.

Menurut Yusril, satu hal yang memerlukan kajian lebih mendalam untuk melaksanakan proyek itu adalah bagaimanakah caranya membayar swasta yang membangun dan mengoperasikan jaringan IT tersebut.

"Kepada siapakah biaya penggunaan jaringan itu akan dibebankan, termasuk pula pertanyaan, apakah biaya itu harus dianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sesuai Undang-Undang Nomor 20 tahun 2007," tulisnya.

Yusril pun meminta Pejabat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum dan Undang-Undang (AHU) untuk berkonsultansi dengan Departemen Keuangan guna mengklarifikasi masalah itu. Pada akhirnya didapat kesimpulan bahwa biaya akses menggunakan jaringan IT Sisminbakum bukanlah obyek yang harus dikenakan PNBP.

Jaringan itu, kata Yusril, ibarat jalan untuk menuju Depkumham, sementara seluruh proses pengerjaan pengesahan perseroan, mulai dari pengecekan nama, seluruhnya dilakukan oleh Depkumham.

Setelah proses pembangunan jaringan IT tersebut selesai, Yusril pun mengaku melaporkannya kepada Presiden Abdurrahman Wahid. "Beliau menyambut gembira selesainya proyek itu dan kemudian meminta wakil Presiden Megawati untuk meresmikan beroperasinya Sisminbakum."

Ia pun mengemukakan, "Saya diberhentikan menjadi Menteri Kehakiman dan HAM di bawah Presiden Abdurrahman Wahid tidak lama setelah Sisminbakum beroperasi."

Pada 2003, kata Yusril, BPKP melayangkan surat kepada Menteri Kehakiman dan HAM yang menyarankan, agar biaya akses Sisminbakum dimasukkan ke dalam PNBP dan dikategorikan sebagai pelayanan kepada masyarakat.

Yusril lalu meminta Dirjen AHU waktu itu, Zulkarnain Yunus, untuk menanggapi saran BPKP itu dan membahasnya bersama dengan Departemen Keuangan.

Semua pihak menyadari bahwa kalau biaya akses itu harus dimasukkan ke dalam PNBP, maka negara harus menyediakan dana APBN untuk membangun sistem itu, atau mengambil alih investasi swasta untuk dijadikan sebagai usaha yang dilakukan oleh negara.

Langkah menyelesaikan masalah ini telah ditempuh oleh Menteri Kehakiman Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata.

Setelah membahas bersama-sama dengan Departemen Keuangan, mereka sepakat untuk menjadikan jaringan IT Sisminbakum itu sebagai Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Departemen Hukum dan HAM, setelah perjanjian kerjasama antara Koperasi Pengayoman dengan PT SRD berakhir tahun 2010 nanti, dan PT SRD sesuai perjanjian BOT akan menyerahkan seluruh aset Sisminbakum kepada Koperasi Pengayoman, jelas Yusril.

"Terakhir, saya ingin menegaskan adanya anggapan bahwa biaya akses Sisminbakum itu bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) Keppres Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara," catatnya.

Pasal tersebut menyatakan "Departemen/lembaga tidak diperkenankan mengadakan pungutan dan atau tambahan pungutan yang tidak tercantum dalam undang-undang atau peraturan pemerintahan".

Kalau Kepres itu dijadikan sebagai dasar, maka Keppres itu sendiri tidak berlaku surut karena Sisminbakum telah diberlakukan sejak tahun 2001. Asas "nullum dilectum" dalam KUHP menegaskan bahwa hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut.

Selain itu, Departemen Kehakiman dan HAM tidaklah memungut biaya akses Sisminbakum. Para pendiri perusahaan dan notaris yang ingin menggunakan jalur IT dalam mencek nama perusahaan dan memproses pengesahannya, membayar biaya akses langsung kepada koperasi dan perusahaan swasta yang membangun dan mengoperasikan jalur IT itu, kata Yusril.

"Kalau mereka tidak mau menggunakan jaringan IT itu, seperti telah saya katakan, mereka tidak perlu membayar. Apa yang dipungut oleh Departemen Kehakiman dan HAM ialah biaya pengesahan yang sudah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah sebagai PNBP," demikian Yusril Ihza Mahendra. (*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008