Jakarta (ANTARA News) - Cerialah para pecinta lingkungan hidup seluruh dunia, termasuk Walhi dan Jatam di Indonesia, karena tidak lama lagi bakal mucul pesaing Al Gore sebagai pendekar perlindungan lingkungan hidup global. Namanya, Barack Hussein Obama.

Sungguh, pria kulit hitam ini akan memutar 180 derajat kebijakan luar negeri AS soal lingkungan hidup, termasuk dalam bagaimana dunia mengurangi emisi karbon yang selama ini selalu mentah oleh penentangan Gedung Putih terutama semasa Presiden George W. Bush.

"Perbedaan presiden Obama dengan Presiden Bush akan bagai siang dengan malam," kata Senator John Kerry kepada para pewarta dalam sebuah simposium bertema lingkungan yang diadakan atas sponsor PBB di Poznan, Polandia.

Pemerintahan Obama akan menandai sebuah era baru kebijakan AS perihal lingkungan hidup yang selama ini dinantikan banyak negara dan organisasi pecinta lingkungan yang percaya bahwa pemanasan global adalah masalah paling mendesak yang tengah dihadapi dunia saat ini.

Pemerintahan George Bush kukuh menolak menandatangani Protokol Kyoto 1997 yang menghendaki 37 negara industri dunia menandatangani pakta pengurangan emisi karbon di bawah tingkat emisi yang dicapai 1990, sampai tahun 2012.

Sebaliknya Administrasi Obama menginginkan emisi gas karbondioksida dan gas-gas efek rumah kaca lainnya diturunkan dari level sekarang ke level tahun 1990, dengan tenggat waktu sampai 2020.

Bush menolak Protokol Kyoto meskipun emisi karbon AS telah 17 persen di atas level tahun 1990, dan penolakan ini membuat tingkat emisi AS dan juga dunia membumbung jauh melewati level standard tahun 1990.

Lain Bush, lain Obama. Kalau Bush menentang proposal yang mengharuskan perusahaan-perusahaan menekan emisi pabrik-pabriknya yang melebihi ketentuan Protokol Kyoto dan lebih menginginkan teknologi inovatif untuk mengatasi pemanasan global, maka Obama justru ingin ada batas emisi karbon yang boleh dan tidak boleh dilanggar perusahaan-perusahaan.

Bukan itu saja, Obama juga berencana memompa uang rakyat ke bidang-bidang pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) yang bertemali erat dengan kebijakan mengenai iklim dan energi, dengan asumsi langkah itu akan menyelamatkan AS dari resesi.

Mengingat Senat dan DPR sama-sama ada dalam kendali Partai Demokrat, maka stimulus hijau (kebijakan ekonomi berorientasi lingkungan) dan program perdagangan karbon yang digagas Obama akan mulus meluncur tanpa hambatan.

Untuk mewujudkan ambisinya, Obama telah mengajukan mahaguru energi alternatif yang juga pemenang Nobel fisika, Steven Chu, sebagai Menteri Lingkungan Hidup, di samping membuat sayap birokrasi baru di Gedung Putih khusus energi dan lingkungan yang akan dikepalai oleh mantan ketua EPA (Badan Perlindungan Lingkungan AS) semasa adiministrasi Bill Clinton, Carol Browner.

Mulus di dalam negeri, gempita di luar negeri, itu mungkin gambaran tepat mengenai kebijakan properlindungan lingkungan ala administrasi Obama, karena di dunia kebijakan dramatis Obama ini akan didukung masyarakat global dari segala arah.

"Saat mengelilingi ruangan, saya mendengar banyak dialek dan bahasa berbeda-beda...kemudian (tiba-tiba semuanya berteriak) Obama, Obama, Obama," kata Gustavo Silva-Chavez, analis pada Environmental Defense, yang ikut dalam simposium Poznan.

"Jadi jelas sekali banyak perunding (lingkungan) mengerti bahwa saat ini adalah akhir dari era Bush dan mulainya babak Obama. Mereka semua sangat menyukai perubahan itu," sambung Gustavo.

Brice Lalonde, ketua delegasi Prancis di simposium Poznan mengungkapkan, Eropa "tergetar hatinya" oleh janji Obama untuk memajukan energi terbarukan.

Jika AS bertekad bahwa mereka sendiri berjuang demi tujuan-tujuan (perlindungan) lingkungan yang ambisius, maka negara lainnya pun akan surut terbawa mengambil langkah-langkah drastis (dalam soal lingkungan), kata Brice.

Obama berjanji menginvestasikan 15 miliar dolar AS (sekitar Rp165 triliun) setiap tahun untuk mendukung upaya sektor swasta dalam mengembangkan energi bersih.

Ia yakin bahwa mengatasi perubahan iklim dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru, mengingat investasi itu akan dibenamkan dalam pengembangan teknologi energi matahari dan angin, bioenergi dan pabrik batu-bara yang lebih bersih lingkungan.

Tapi ada sejumlah kendala menghadang Obama dan terbesar adalah resesi serta "bailout" sektor keuangan dalam negeri AS yang akan membuat upaya Obama mendapatkan dana prolingkungan tidak sebanyak yang dimintanya.

Selain itu, para aktivis takut Obama tidak segera mengambil langkah mengurangi kecanduan AS akan batubara dan minyak, meningkatnya produksi kendaraan berbahan bakar efisien dan pertarungannya dengan para pemegang kepentingan ekonomi raksasa seperti industri minyak.

Simposium Poznan yang membahas apa langkah dunia selanjutnya setelah Pakta Kyoto Protokol akan habis masa ikatnya pada 2012 itu terbengkalai gara-gara pertentangan hebat dalam simposium. Namun mereka berharap peta jalan baru akan dihasilkan pada Desember 2009.

John Kerry, yang berada di Poznan segera setelah menjadi Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS, menyebutkan bahwa adalah sangat penting bagi China, yang kini menjadi juara baru menggantikan AS sebagai negara penghasil emisi karbon terbesar dunia, terlibat lebih dalam pada upaya memerangi pemanasan global sehingga AS pun terdorong menyepakati perjanjian baru soal perlindungan lingkungan global.

Ironisnya, China mengajukan syarat negara-negara kayalah yang mesti terlebih dahulu terlibat lebih jauh dalam mengurangi emisi karbonnya. Dan usulan China ini didukung India.

Sayang, pemerintahan transisional AS tidak membantu mempercepat penciptaan prakondisi untuk semua itu.

"Akibatnya pembicaraan pun menemui jalan buntu. Ini bagai lubang hitam, namun dalam perspektif lebih luas kami sungguh mempunyai harapan besar," kata Kim Carstensen yang mengetuai World Wildlife Fund (WWF) dalam soal perubahan iklim.

Jake Schmidt, Direktur Kebijakan Iklim Internasional pada Natural Resources Defense Council, berbagi saran mengenai prospek jangka panjang perlindungan lingkungan global.

Kata Jake, Obama peduli pada pemanasan global dan memahami solusi untuk itu adalah juga jantung bagi bagaimana AS mengatasi situasi keuangannya dengan menciptakan jutaan lapangan kerja baru yang ramah lingkungan. (*)

Sumber; msnbc

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008