Jakarta (ANTARA News) - Setelah lebih dari enam dasawarsa Indonesia merdeka, akhirnya Indonesia memiliki atlas resmi nasional menggantikan atlas Hindia Belanda yang digunakan selama ini, dengan diluncurkannya Atlas Nasional Indonesia.

"Atlas Indonesia yang ada selama ini dilkeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1938," kata Kepala Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) Rudolf W Matindas dalam peluncuran Atlas Nasional Indonesia Volume I di Jakarta, Kamis.

Saat itu, urainya, Belanda sendiri belum memiliki atlas nasional, namun wilayah jajahannya Hindia Belanda yang sangat luas ini sangat menjadi perhatian.

Selain atlas Hindia Belanda, ujarnya, banyak juga atlas yang membahas wilayah nusantara ini secara sepotong-sepotong dan belum merupakan informasi resmi nasional.

Atlas Nasional Indonesia, ia menjelaskan, merupakan kumpulan peta tematik, deskriptif, gambar, foto dan citra satelit yang disusun secara sistemik sehingga membentuk informasi tentang fenomena, potensi dan sumber daya yang ada.

Atlas ini, lanjut dia, dikemas dalam tiga volume atlas, yakni volume 1 yang diluncurkan pada awal 2009 ini, menyajikan informasi tentang kondisi fisik dan lingkungan alam Indonesia seperti geologi, iklim, geomorfologi, kelautan, gunung api, rawan bencana, penutupan lahan hingga kawasan konservasi.

Pada 2009, urainya, akan dilanjutkan penyelesaian atlas volume II yang membahas Potensi dan Sumberdaya dan pada 2010 akan diselesaikan atlas volume III yang membahas Sejarah, Wilayah, Penduduk, Budaya dan Bahasa.

Atlas Nasional Indonesia volume I yang disusun sejak 2007 dengan anggaran sekitar Rp2 miliar itu merupakan produk bersama antara Bakosurtanal, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Geologi Departemen ESDM, Dinas Hidro Oseonografi Mabes TNI AL, Dephut, UGM, ITB, UI dan National Geographic.

Atlas dengan perbandingan 1:250.000 ini diluncurkan dalam bentuk buku cetakan yang dicetak sebanyak 800 eksemplar dan akan didistribusikan kepada instansi pemerintah, kedutaan besar, hingga institusi pendidikan.

"Namun masyarakat umum juga dapat memperolehnya dengan ongkos pengganti Rp200 ribu atau mengaksesnya pada web Atlas Nasional Indonesia," katanya.

Dibanding dengan atlas Hindia Belanda, ia menjelaskan, tentu saja atlas tersebut sudah banyak sekali berubah, dari mulai perubahan luas hutan, pembukaan sawah, jumlah saluran irigasi, penyebaran penduduk dan pengembangan kota-kota baru, jaringan transportasi, jumlah bandara hingga pelabuhan.

"Bisa kelihatan bedanya antara dulu dan sekarang," katanya sambil menambahkan bahwa idealnya untuk suatu daerah yang perkembangannya sangat pesat seharusnya dikeluarkan atlasnya lima tahun sekali, berbeda dengan daerah yang tidak mengalami perubahan. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009