Bandung (ANTARA News) - Seniman Jawa Barat khususnya para ahli seni tari jaipongan menyatakan akan mengabaikan himbauan Gubernur Jawa Barat, Achmad Heryawan terkait dengan pengurangan gerakan Goyang, Geol, Gitek (3G) dan pemakaian busana yang terbuka saat pementasan.

Pelopor seni tari jaipongan, Gugum Gumbira di Bandung, Jumat menuturkan perspektif Heryawan tentang jaipongan ini tidak jelas, sepihak dan menyamaratakan seluruh tarian serta penampilan para penari.

"Saya tidak mengerti yang Gubernur maksudkan, grup yang mana, siapa orangnya dan pada penampilan dimana karena secara pribadi sanggar yang saya miliki tidak seperti itu, mungkin Pak Heryawan belum mengetahui dengan jelas seperti apa jaipongan" katanya.

Gugum mengatakan saat ini para pemilik sanggar ataupun penari sudah terbiasa untuk melakukan penyesuaian dalam berpakaian dan gerakan saat pementasan. "Saat ini saya banyak melihat semua penari berpakaian tertutup tanpa menggunakan kemben saja," katanya.

"Namun untuk beberapa tarian klasik memang masih menggunakan pakaian yang terbuka dan itu sudah "menempel" sejak dulu, mengapa jaipongan yang disorot sedangkan dangdut ataupun tayangan-tayangan di televisi yang jelas menggunakan pakaian terbuka dibiarkan," katanya.

Pria pemilik sanggar tari "Jugala" ini menegaskan sebaiknya pemerintah tidak terlalu ikut campur dalam penuangan kreativitas seniman. "Selama ini tidak ada kontribusi yang nyata dari pemerintah untuk para seniman jadi sepertinya tidak perlu untuk melakukan himbauan-himbauan yang meresahkan," katanya.

Seniman tari jaipongan lainnya, Wawan Hendrawan mengaku kaget atas pernyataan Gubernur Jabar ini. "Bagaimana bisa hidup jika ada pelarangan karena tari adalah sumber kehidupan kami dan saya tidak akan menggubris himbauan itu," katanya.

"Saya heran apa yang dimaksud dengan goyangan yang berlebihan karena tidak ada yang berlebihan dilakukan, ini memang gerakan tari," katanya.

Pemilik Padepokan Sekar Panggung ini mengatakan tari jaipongan yang ada saat ini tidak seluruhnya seperti jaipongan Karawang atau Subang yang diakuinya penuh dengan 3G. "Banyak tarian saya yang mengadopsi dari sana tapi saya edit kembali," katanya.

Sementara itu seniman tari lainnya, Indrawati Lukman menuturkan himbauan Gubernur tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini karena telah banyak perubahan yang terjadi dalam dunia seni tari.

"Banyak pengajar tari yang membuat koreografi sendiri tanpa terlalu menonjolkan 3G untuk acara-acara tertentu dan pemakaian busana yang sopan dan beretika," katanya.


Seniman terkejut dengan pernyataan gubernur

Indra menegaskan tarian rakyat yang dikreasikan kembali tersebut sangat banyak disukai masyarakat. "Sebagai seniman tari saya sangat terkejut dengan pernyataan ini," katanya.

"Sejauh yang saya tahu para seniman tari mampu melihat audiens yang akan menontonnya, jika di acara tertentu 3G tidak harus ditonjolkan namun di acara lainnya gerakan tersebut harus dikeluarkan," katanya.

Seniman tari lainnya, Mas Nano Muda menuturkan hendaknya Gubernur Jabar menghadiri acara pementasan jaipongan yang akan dilaksanakan di Taman Budaya Bandung agar lebih memahami dan mengerti seperti apa jaipongan yang sesungguhnya.

"Jika memang menginginkan kreasi tari jaipongan yang diperhalus kami bersedia membuatnya namun kami hanya meminta pemerintah jangan hanya dapat memberi kritik tanpa memberi dukungan penuh bagi seniman," katanya.

Keempat seniman tersebut berharap Gubernur Jabar dapat duduk bersama untuk mendiskusikan hal ini untuk menyamakan persepsi yang ada.

"Ini menyangkut Jawa Barat khususnya kebudayaan Sunda, jangan mempermalukan diri di depan daerah lain karena adanya perselisihan tentang hal ini," kata Indra.


Imbauan itu akan sirna sendiri

Sebelumnya Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Jabar, Herdiwan menyatakan Gubernur Jabar menghimbau agar 3G dikurangi dan penari menutup ketiaknya karena akan menimbulkan penafsiran lain dari penonton.

Himbauan untuk mengurangi 3G ini bukanlah untuk yang pertama kalinya dikeluarkan Gubernur Jabar karena pada era 1980-an Aang Kunaefi juga mengeluarkan himbauan yang sama namun berangsur sirna seiring gencarnya pemahaman yang diberikan para seniman.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009