Jakarta (ANTARA News) - Ujaran berlogat Metropolitan Jakarta, "Idiih...kamu narsis deh," berpangkal dari pengalaman keseharian akan ketertarikan kepada diri sendiri yang tiada henti berkaca diri di cermin kehidupan.

Relatif ganjil, karena cermin telah menerkam pribadinya.

Lebih ganjil lagi, karena orang terkena pesona diri sendiri. Sampai-sampai, "jalan putar" dibenarkan, "jalan pintas" dianggap pantas. Di sekolah atau perguruan tinggi, murid atau mahasiswa memilih sistem (studi) kebut semalam disingkat SKS menjelang ujian.

Hasilnya, selalu lucu dan tidak pernah jelas. Ini sama halnya dengan nukilan pertanyaan dari novel teenlit, "Bunda, kencan itu apa sih?" Dan Ibu menjawab, "Kencan bisa membuat badan merasa syuur...karena kangen terobati." Ini tentu kurang berlaku bagi putra atau putri yang berjuluk Miss Dingin atau Mister Frigid.

Apakah iklan pemilu 2009 dapat membangkitkan gairah syuur? Atau justru iklan pemilu menghantar publik kepada jalan putar yang selalu lucu dan tidak pernah jelas? Post Scriptum (PS), ketika mengucapkan kata "syuur", perlu mengolahragakan kedua bibir agar tampak seksi seperti bibir merah milik aktris Marilyn Monroe.

Jangan dulu bernalar esek-esek karena bersinggungan dengan kosakata syuur. Tidak syuur juga ketika mengunyah kritik dari kolumnis MAW Brouwer dalam tulisannya "Sanctus Bureaucratius". Katanya, pegawai kerapkali tidak berani memikul tanggungjawab.

Kalau pegawai mengambil keputusan, mungkin dia ditegur kalau salah. Mungkin dia juga ditegur kalau keputusannya baik, karena atasan tidak mau mempunyai bawahan yang lebih pintar dari atasan.

Karena itu, pegawai memilih jalan aman dengan menempuh aksi masa bodoh. Ini feodalisme, ini semangat main raja-raja kecil dalam politik kantor.

Di dunia satwa, tubuh harimau yang kenyang tidak selalu berperilaku menerkam manusia.

Tetapi, tubuh dan perilaku manusia yang makmur selalu mungkin berperilaku menerkam, membunuh, menipu, mengkhianati sesamanya.

Di dunia manusia modern, perhatian akan seni maka lebih ditujukan kepada seni dan bukan kepada tubuh yang lapar dan perilaku mengunyah makanan dan menyeruput minuman. Jalan putar atau jalan pintas mengail sertifikat sebagai pribadi beradab.

Sedangkan, di dunia iklan pemilu 2009, ada warta syuur untuk meraih predikat masyhur.

Menurut hasil survei yang dilakukan AC Nielsen periode 1 Oktober 2008 hingga 2 Februari 2009, Partai Gerakan Indonesia (Gerindra) menyabet urutan pertama dalam belanja iklan melalui televisi (Rp46,7 miliar).

Peringkat kedua ditempati Partai Demokrat dengan menggelontorkan dana sebesar Rp36,1 miliar. Sementara Partai Golkar menghabiskan dana senilai Rp18,873 miliar untuk mendukung kampanye melalui televisi.

"Kalau mau ikut pemilu, enggak bisa pas-pasan, harus punya dukungan finansial memadai," kata Corporate Secretary MNC Group Gilang Iskandar dalam Seminar Pemilu 2009 dalam Perspektif Media di Gedua Dewan Pers.

Kosok balik. Belanja iklan yang terkesan jor-joran itu dibingkai dalam laporan Bappenas bahwa jumlah orang miskin pada tahun 2009 diperkirakan melonjak ke angka 33,714 juta orang, lebih tinggi dari target yang diinginkan pemerintah pada level 32,38 juta orang.

Sementara, angka kemiskinan yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik pada Maret 2007, yakni sekitar 35 juta orang. Padahal, menurut pengamat ekonomi Hendry Saparini, angka kemiskinan bisa lebih besar karena harga bahan makanan pokok masih mahal sehingga daya beli masyarakat masih lemah.

Ini jauh dari syuur. Hujan dan cuaca tidak menentu selama pekan ini telah mengganggu pasokan bahan pokok hingga menyebabkan kenaikan harga lebih dari 60 persen.

Pantauan harian Bisnis Indonesia, di Pasar Bendungan Hilir, Jakarta Pusat menunjukkan beberapa komoditas yang mengalami lonjakan harga itu antara lain cabai (37-69 persen, bawang merah (44 persen), gula pasir (23 persen), dan minyak goreng (21 persen).

Untuk beras, kisaran kenaikan yang terbentuk sebesar 2-10 persen. Kenaikan 10 persen terjadi pada jenis beras IR VI kualitas I. Kenaikan harga juga dipicu oleh berkurangnya pasokan akibat gangguan distribusi.

Paradoks antara iklan pemilu yang syuur dengan kenaikan harga bahan pokok yang tidak-syur ini dilukiskan dalam karikatur Oom Pasikom dalam Harian Kompas (14/2).
Digambarkan bahwa bocah gundul yang mengusung tanda gambar Partai Sembako berkata, "Harga BBM sudah turun, kok harga-harga makin mahal, Pak...."

Oom Pasikom yang melekatkan tulisan Capres di lengan jasnya menjawab, "Karena BBM langka." Sang bocah kembali bertanya, "Lho Pak, kenapa langka?" Keduanya sama-sama berpikir. "Karena harga-harga makin mahal," kata Oom Pasikom.

Abrakadabra...jadilah, pencerahan khas Oom Pasikom versus paradoks syuur dalam iklan politik. Ada kritik atas kritik, karena pemerintah meraih keuntungan dari penjualan premium minimal Rp2,8 triliun dalam dua bulan terakhir.

Kalau Oom Pasikom ingin meniti Pemilu 2009, maka filsuf Karel Kosik menawarkan "mechanism of acting and living", maksudnya perilaku manusia bukan lagi sesuatu yang misterius, tidak terduga dan penuh kejutan, melainkan sesuatu yang dapat diduga karena manusia hidup dalam dunia yang bersifat tetap (tradisi dan kebiasaan). Dunia yang tetap terbentuk melalui kebiasaan.

Seseorang dapat menjadi ahli matematika, hanya apabila dia "me-matemati-kan" tubuhnya. Tubuhnya perlu membiasakan diri atau mengakrabkan diri dengan matematika. Kalau parpol ingin menyentuh rakyat dengan iklan yang mencerahkan, maka hindari politik penistaan tubuh dengan jalan putar atau jalan pintas.

Semakin maju dan semakin beradab seseorang atau sebuah bangsa, semakin rumit dan berliku jalan putar yang dimiliki. Tubuh lapar dari seorang yang tidak beradab memiliki jalan putar sederhana untuk sampai kepada

perilaku mengunyah. Dia dapat mencuri nasi dari tetangganya. Apabila dia lebih pandai, dia menggunakan tubuhnya untuk bekerja, memperoleh uang, membeli makanan dan memasukkannya ke dalam mulut.

Syuur dalam iklan politik dan pencerahan Oom pasikom menyasar kepada penegasan bahwa "Selalu Lucu, Tidak Pernah Jelas". Politik penistaan tubuh menyelinap dalam iming-iming sembako, karena ada momok kemiskinan. Ini wajah politik yang narsistik jelang pemilu 2009, karena korbannya "Sanctus Bureaucratius". (*)

Oleh oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009