Magelang (ANTARA News) - Pentas "Orkestra Afalaa Tatafakkaruun" oleh Komunitas Lima Gunung batal karena salah seorang pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Asrama Perguruan Islam Tegalrejo (API), Magelang, K.H. Ahmad Muhammad (GUs Muh) meninggal dunia. "Karena Gus Muh meninggal, semua dibatalkan," kata Ketua Panitia Pentas Seni "Orkestra Afalaa Tatafakkaruun", Kholilul Rohman Ahmad, di Magelang, Sabtu (7/3). Menurut rencana pementasan oleh ratusan seniman muda petani lima gunung Magelang (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) itu berlangsung di kompleks Ponpes API Tegalrejo pada hari Sabtu (7/3) mulai pukul 09.00 hingga 15.00 WIB. Pementasan itu dalam rangkaian dialog dan pentas kesenian tradisional bertajuk "Dongeng Perubahan" gagasan salah seorang pengasuh ponpes, K.H. Muhammad Yusuf Chudlori yang antara lain akan dihadiri Sutradara Garin Nugroho, penyanyi Franky Sahilatua, Trie Utami, dan salah seorang putri Raja Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Gus Muh meninggal dunia dalam usia 67 tahun pada hari Jumat (6/3) sekitar pukul 23.55 WIB di "Jogja Hospital International" Yogyakarta setelah menjalani perawatan selama tiga hari karena penyakit diabetes dan komplikasi yang dideritanya. Gus Muh yang juga adik pimpinan tertinggi Ponpes API Tegalrejo, K.H. Abdurrahman Chudlori itu meninggalkan seorang istri dan dua anak. Menurut rencana, katanya, jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga K.H. Chudlori di kompleks ponpes tersebut pada pukul 14.00 WIB. Sutanto Mendut, pimpinan tertinggi Komunitas Lima Gunung, mengatakan, dirinya telah mendapatkan pemberitahuan dari pihak panitia tentang pembatalan pementasan tersebut karena Gus Muh meninggal dunia. "Tadi malam, kami baru saja selesai koordinasi terakhir, kami diberitahu kalau Gus Muh meninggal sehingga pentas dibatalkan, kami belum tahu kapan akan dilakukan pementasan itu," katanya. Orkestra itu, katanya, berisi pesan pentingnya masyarakat berpikir dan merenungkan secara mendalam jika akan memberikan suaranya saat pemilu mendatang. Pementasan rencananya berdurasi 45 menit dan ditandai dengan pawai sekitar seratus seniman muda komunitas itu melewati jalan-jalan desa di kompleks ponpes sambil menabuh berbagai alat musik seperti truntung, kendang, dan perangkat musik gamelan lainnya. Mereka mengenakan pakaian kesenian tradisional dan bercaping serta membawa tongkat berwarna putih sedangkan sejumlah seniman lainnya mengenakan pakaian jubah berwarna kuning keemasan dalam pawai tersebut. Saat berada di panggung utama, mereka melantunkan syair "Afalaa Tatafakkaruun" dalam lima bahasa yakni Arab, Jepang, Inggris, Indonesia, dan Jawa "krama inggil" secara bergantian diiringi tabuhan musik kontemporer lima gunung. "Mereka adalah siswa multilatarbelakang dari Sekolah Gunung yang dikembangkan Komunitas Lima Gunung," kata Sutanto yang juga pengajar pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu. Pementasan itu, katanya, selain sebagai hiburan kepada masyarakat juga ajang dialog menyangkut kebudayaan, kesenian, dan pesan aktual tentang berbagai nilai kemanusiaan.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009