Banyumas (ANTARA News) - Kesibukan puluhan umat Hindu menyambut Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1931 tampak di Pura Pedaleman Giri Kendeng, Desa Klinting, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Meski suasananya berbeda dengan Pulau Bali yang warganya mayoritas beragama Hindu, keheningan perayaan Nyepi terasa hingga desa yang berada di perbukitan tersebut.

Keheningan tersebut muncul lantaran sekitar 60 kepala keluarga di Desa Klinting memeluk agama Hindu, walau leluhur mereka bukanlah dari Bali, melainkan penduduk asli desa tersebut.

Berbagai persiapan pun mereka lakukan pada Selasa sore (24/3), mulai membersihkan pura, memasang penjor di sekitar pura yang memiliki luas 700 meter persegi, hingga membuat berbagai sesaji untuk upacara Tawurageng Kesanga pada Rabu (25/3).

"Upacara Tawurageng Kesanga dilakukan sehari sebelum perayaan Nyepi," kata Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Banyumas, Made Sedana Yoga, di Pura Pedaleman Giri Kendeng.

Menurut dia, upacara Tawurageng Kesanga ditujukan untuk menyucikan dan mengembalikan keseimbangan "bhuwana agung" dan "bhuwana alit" baik "sekala" maupun "niskala".

Tafsir Hindu menyebutkan, penyucian "bhuwana agung" dan "bhuwana alit" (makro dan mikrokosmos) dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin (jagadhita dan moksa), terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), siwam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan/keindahan).

Dalam hal ini, para "buta kala" (lelembut) disucikan agar tidak mengganggu umat Hindu selama melaksanakan Catur Berata Penyepian dalam upacara Yoga Samadhi di Hari Raya Nyepi.

Catur Berata Penyepian terdiri "amati geni" (berpantang menyalakan api), "amati karya" (tidak melakukan pekerjaan), "amati lelanguan" (menghentikan kesenangan), dan "amati lelungan" (tidak bepergian).

Biasanya, sebelum dilaksanakan upacara Tawurageng Kesanga, umat Hindu menggelar prosesi "melasti" yang ditujukan untuk melebur segala macam pikiran kotor, perkataan, dan perbuatan.

Upacara "melasti" juga ditujukan untuk memperoleh air suci (angemet tirta amerta) bagi kehidupan.

"Upacara `melasti` dilakukan di sumber air, sungai, atau laut. Namun, sebaiknya dilaksanakan di laut. Bagi yang memiliki pratime atau alat sembahyang, biasanya dibawa untuk disucikan," kata Made Sedana.

Menurut dia, dalam perayaan Nyepi kali ini, Pura Pedaleman Giri Kendeng tidak menggelar upacara "melasti" karena memang tidak harus dilaksanakan.

"Bedande di Bali menyatakan, `melasti` boleh dilaksanakan, boleh tidak dilaksanakan," katanya.

Apalagi umat Hindu di desa ini, kata dia, tidak semuanya memiliki pratime, tidak seperti di Bali.

Namun, jika "melasti" dilaksanakan, katanya, hal itu dilakukan di mata air Jumbul yang ada di Desa Klinting.

Sementara mengenai pelaksanaan Yoga Samadhi pada Hari Raya Nyepi, menurut dia, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, dapat berjalan lancar, meski umat Hindu di Desa Klinting hanyalah bagian kecil dari warga setempat.

"Toleransi warga Desa Klinting cukup tinggi sehingga kami dapat melaksanakan sembahyang di Hari Raya Nyepi dengan khidmat," katanya.

Dia memaklumi, seandainya saat perayaan Nyepi masih terdengar suara lalu-lalang kendaraan yang melintas, karena tidak semua warga beragama Hindu. Namun, sebagai umat Hindu, perayaan Nyepi benar-benar harus dilaksanakan dengan penuh keheningan.

"Kita benar-benar menjalankan Catur Berata Penyepian dengan tidak bepergian, berpantang dengan api, tidak melakukan pekerjaan, dan meninggalkan kesenangan. Bahkan telepon seluler saya matikan dan tidak menerima tamu," kata Made Sedana.

Menurut dia, perayaan Nyepi hakikatnya untuk menyambut Tahun Baru Saka yang diisi dengan perenungan terhadap apa yang pernah dilakukan dan merencanakan apa yang akan dilakukan di tahun mendatang, untuk menuju kebaikan.

Setelah melaksanakan Yoga Samadhi selama 24 jam, kata dia, dilanjutkan dengan upacara Ngembak Geni, yakni menyalakan api.

"Pada hari Ngembak Geni atau beberapa hari sesudahnya, dilakukan Dharma Santi dengan mengunjungi saudara atau kerabat untuk sekadar mengucapkan selamat tahun baru," katanya.

Kegiatan Dharma Santi biasanya diisi dengan pentas seni yang bernafaskan keagamaan, menyanyikan lagu-lagu keagamaan/kidung, kekawin, pembacaan seloka, dharma tula (diskusi) persembahyangan, dan keagamaan lainnya.

Sementara itu, Ketua Ikatan Remaja Satya Dharma Bakti, Minoto Darmo, mengatakan, secara keseluruhan tata cara pelaksanaan upacara menyambut perayaan Nyepi di Pura Pedaleman Giri Kendeng tidak jauh beda dengan di Pulau Bali.

"Hanya dalam segi dialek atau logat bahasanya berbeda, meski doa-doa dalam bahasa Kawi Kuno yang kami bacakan ada sama dengan yang dibacakan umat Hindu di Bali," katanya.

Selain itu, pakaian yang digunakan dalam upacara juga tidak harus khas Bali, tetapi bisa mengenakan adat Jawa, asalkan bewarna putih.

Bahkan, iringan tetabuhan yang digunakan dalam upacara juga bervariasi antara Jawa dan Bali.

Mengenai sejarah pemelukan agama Hindu oleh warga Desa Klintingan, menurut Made Sedana, telah berlangsung sejak 23 tahun yang lalu.

"Saat itu, masyarakat desa ini banyak yang menganut Kepercayaan Wayah Kaki," katanya.

Suatu ketika, sesepuh Kepercayaan Wayah Kaki, Ranameja, mendapat wangsit dari Wayah Kaki (leluhur) yang menyarankan agar para penghayat kepercayaan tersebut bernaung kepada agama Hindu, yang memiliki kemiripan dalam tata cara sembahyangnya.

Wangsit tersebut disampaikan kepada para penghayat Kepercayaan Wayah Kaki.

Selanjutnya, Ranameja berusaha menghubungi Parisada Hindu Dharma Provinsi Jawa Tengah untuk minta disudikan (dibaptis) sebagai pemeluk agama Hindu. Bahkan, dia juga datang sendiri ke Bali menemui Bedande dan minta disudikan.

Setelah sekian lama mendalami agama Hindu di Bali, dia kembali ke kampung halamannya.

Sekembalinya di Desa Klinting, para penghayat Wayah Kaki di desa tersebut menyatakan ingin masuk agama Hindu. Dia pun membangun Pura Pedaleman Giri Kendeng, sekitar 19 tahun lalu.

Bahkan, tidak hanya penghayat Wayah Kaki di Desa Klinting yang ingin disudikan masuk agama Hindu, tetapi dari daerah lain di Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara.

Saat lebih dari 1.000 penghayat Wayah Kaki hendak disudikan masuk agama Hindu, Ranameja dan pengurus PHDI sempat dipanggil oleh kejaksaan dan kepolisian karena mengumpulkan orang sebanyak itu.

"Namun, hal itu tidak menjadi persoalan. Pemerintah orde baru justru senang karena saat itu aliran kepercayaan diharapkan bisa masuk ke dalam salah satu agama yang diakui pemerintah," kata Made Sedana.

Menurut dia, masuknya para penghayat kepercayaan Wayah Kaki ke dalam agama Hindu tanpa adanya paksaan.

Ia mengatakan, agama Hindu terbuka bagi siapa saja yang meyakininya.

"Jika ada yang ingin memeluk agama Hindu, kami siap merangkulnya. Namun, jika ada yang ingin keluar, kami pun tidak melarang," kata dia sembari mengucapkan Selamat Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1931.

"Om awignam astu namah sidam", semoga damai di dunia dan damai selama-lamanya.(*)

Oleh Oleh Sumarwoto
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009