Maju mundurnya keputusan pemerintah, nampaknya simbolisasi dari pernyataan bahwa kesadaran dikembalikan sepenuhnya pada masyarakat. Pemerintah tak hendak melarang. Sebab larangan bisa menimbulkan kesulitan masyarakat, bahkan gejolak sosial.
Jakarta (ANTARA) - Ketakkonsistenan simbol yang diinteraksikan pemerintah kepada masyarakat hari-hari ini, dapat dimaknai sebagai sikap ekstra hati-hati pemerintah mencegah gejolak sosial.

Terutama jika penanganan COVID-19 tidak tepat. Simbol yang diinteraksikan itu, menurut teorinya, bersifat mana suka, polisemi, multintepretasi dan baru terbangun maknanya ketika diinteraksikan.

Beda yang menginteraksikan, beda ruang, dan beda waktu, maka makna yang lahir juga akan beda. George Herbert Mead, lewat buku "Mind, Self and Society (1934)", yang disusun oleh mahasiswa yang mencintainya Herbert Blumer, menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang interaksi simbolik ini.

Dari uraiannya dapat dipahami, semua aktivitas manusia pada hakikatnya adalah aktivitas simbolik. Itu terjadi secara sengaja maupun tak sengaja.

Demikian juga setiap benda adalah artefak simbolik. Ia dapat merepresentasikan benda lain atau diwujudkan dalam kata, suara, gambar, produk, tindakan, maupun entitas lain.

Benda uang misalnya, dapat digambarkan sebagai simbol keadaan sejahtera. Demikian juga pohon dengan daun yang banyak sebagai wakil keadaan subur. Terjadi representasi benda terhadap keadaan yang lain.

Demikian juga dengan keputusan pemerintah, ia adalah simbol. Ketika misalnya muncul wacana pelarangan moda transportasi keluar dari Jabodetabek beberapa saat yang lalu.

Ia adalah representasi dari sikap tegas pemerintah mencegah masyarakat mudik dini. Wacana pelarangan yang awalnya muncul dari Kementerian Perhubungan, belakangan dikoreksi oleh institusi yang sama, mudik tidak dilarang, tapi diimbau untuk tidak mudik.

Terkait hal ini, sempat terjadi peristiwa koreksi oleh Menteri Sekretaris Negara akibat pernyataan tak presisi Juru Bicara Presiden.

Baca juga: Presiden Jokowi tetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional

Yang lebih baru, ketika DKI Jakarta akhirnya disetujui menerapkan PSBB, 10 April lalu. Tujuannya, agar masyarakat meneruskan karantina mandiri. Lagi-lagi, ini adalah simbol ketegasan pemerintah, dibanding imbauan yang tak menyurutkan penularan.

Implikasinya ojek daring dilarang memuat penumpang. Ia hanya mengantar barang. Tapi tak lama kemudian, ketentuan ini dikoreksi lagi, ojek daring boleh untuk mengangkut penumpang.

Akibat maju mundurnya ketentuan yang diberlakukan, pemerintah dianggap membingungkan masyarakat.

Apa sebenarnya yang dikehendaki para pembuat keputusan? Kembali pada interaksi simbolik di atas, yang terjadi itu boleh diintepretasikan sebagai sikap pemerintah yang ekstra hati-hati berkeputusan. Di satu sisi hendak menghadang penularan setegas dan sesegera mungkin, di sisi lain mencegah terjadinya gejolak sosial.

Persoalan mencegah timbulnya gejolak sosial ini, jadi upaya yang nampak sangat mengemuka. Langkah pemerintah dinilai tepat, krisis tak perlu melahirkan krisis baru, yang lebih luas.

Ketika satu pohon terbakar, jangan biarkan hutan ikut terbakar. Untuk itu, menganulir pelarangan ojek daring memuat penumpang, bisa dibaca sebagai simbolisasi mencegah gejolak sosial masyarakat, yang hidupnya jadi sulit oleh "phsysical distancing" (pembatasan fisik).

Demikian juga dengan beberapa skema insentif yang dikeluarkan BUMN, untuk kelompok ini.
Ini memicu perdebatan yang kencang di jagat media sosial. Mengapa ojek daring nampak mendapat perhatian lebih banyak dari profesi lain?

Dalam telaah interaksi simbolik, bisa jadi ojek daring menempati simbol dari profesi masyarakat di lapisan bawah. Mereka terlihat jelas oleh pembuat keputusan maupun masyarakat luas yang sesungguhnya, hidupnya juga makin sulit.

Masyarakat lapisan bawah lain, bukan ojek daring, juga mengalami derita, yang bahkan lebih parah. Hanya sayangnya, kelompok lain, representasi simboliknya samar samar. Sehingga perlakuan pada kelompok dengan representasi simbolik jelas, dapat dimaknai sebagai mengatasi derita masyarakat lapisan bawah dengan baik.

Dengan logika simbolik persoalannya, simbol tak pernah identik dengan yang diwakilinya. Ia punya makna sebatas kesepakatan.

Baca juga: Kemendikbud: Pertunjukan budaya via daring perkuat pembelajaran daring

Hanya memberi perhatian pada kelompok tertentu saja, sama artinya dengan terjebak pada penyelesaian simbolik. Kelompok ojek daring memang perlu diperhatikan, namun kelompok masyarakat lain yang membutuhkan bantuan, masih sangat banyak.

Kembali pada kebingungan masyarakat, akibat satu ketentuan terbit, dan dikoreksi beberapa saat kemudian.

Apapun gaya komunikasi pemerintah, masyarakat yang patuh menjalankan karantina mandiri berharap, penularan segera turun, bahkan berhenti. Bukan malah bingung.

Maju mundurnya keputusan pemerintah, nampaknya simbolisasi dari pernyataan bahwa kesadaran dikembalikan sepenuhnya pada masyarakat. Pemerintah tak hendak melarang. Sebab larangan bisa menimbulkan kesulitan masyarakat, bahkan gejolak sosial.

“Tapi dengan kesadaran diri dan dukungan komunitas, untuk sementara jangan keluar rumah dulu, deh. Kekurangan rejeki hidup bisa ditanggulangi secara gotong royong oleh komunitas”.

Pembacaan simbolisasi pernyataan ini, nampak mengikuti filosofi Jawa, "ngono yo ngono ning ojo ngono". Kurang lebih maknanya, boleh begitu tapi (kalau bisa) jangan begitu. Tidak dilarang mudik, tapi (kalau bisa) jangan mudik. Tidak dilarang keluar rumah, tapi (kalau bisa) diam saja di rumah.

Ada dilema yang dihadapi pemerintah. Tegas berpotensi timbulnya gejolak sosial, namun jika kendor sama artinya dengan membiarkan penularan merebak. Ada tuntutan ekstra hati-hati menangani COVID-19 dikaitkan dengan karakter masyarakat Indonesia.

Namun demikian, tetap perlu adanya skala prioritas. Penyebab keadaan hari ini adalah COVID-19 yang merembet cepat. Maka pada objek inilah energi dikerahkan.

Masyarakat mutlak digerakkan serentak tanpa ambigu, ketentuan mana yang berlaku, apa yang diizinkan dan apa yang tidak diizinkan. Itu harus dikomunikasikan jelas. Berikut tindakan pencegahan yang dilakukan pemerintah, jika gejolak sosial terjadi.

Rasanya, tanpa komunikasi yang jelas, upaya sekeras apapun akan dimaknai bahwa pemerintah sedang gamang melangkah. Sebuah keadaan yang sesungguhnya tak menguntungkan, dalam krisis.

*) Dr. Firman Kurniawan S., pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org

Baca juga: Ojek "online" mulai terapkan layanan tanpa kontak langsung
Baca juga: Pengemudi ojek daring beralih jadi kurir saat PSBB

 

Copyright © ANTARA 2020