Palangkaraya (ANTARA News) - Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono diminta menentukan kepastian batas waktu penyelesaian rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah yang pembahasannya macet di Departemen Kehutanan selama dua tahun terakhir.

"Kami akan minta agar Presiden menetapkan batas waktu penyelesaian RTRWP Kalteng selambatnya pada Oktober mendatang," kata Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang, di Palangkaraya, Senin.

Rencananya, jajaran pemda se-Kalteng akan bertemu dengan Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka Jakarta, Selasa besok (26/5), guna menyampaikan persoalan RTRWP yang tidak pernah disetujui pemerintah pusat sejak provinsi itu berdiri 52 tahun lalu.

Dalam pertemuan itu, Teras Narang akan didampingi 14 bupati/walikota se-Kalteng, pimpinan DPRD se-Kalteng, dan para tokoh masyarakat setempat.

Menurut Teras, pertemuan dengan Presiden Yudhoyono itu merupakan tindak lanjut desakan Presiden kepada Menteri Kehutanan MS Kaban agar tidak mempersulit proses penetapan RTRWP Kalteng setahun lalu.

"Selama setahun sejak Presiden menyoroti RTRWP Kalteng, tidak ada tindak lanjut konkret untuk penyelesaiannya dari Dephut," katanya.

Ia mengatakan, dalam beberapa permasalahan pemerintah pusat bahkan harus berani mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk menyelesaikan RTRWP Kalteng tersebut.

Aturan hukum itu diperlukan untuk memproteksi kebijakan tata ruang di daerah.

Teras juga mengatakan, penyelesaian RTRWP merupakan kebutuhan utama dalam upaya pembangunan daerah sehingga Kalteng tidak mau hanya pertemuan itu hanya sekedar menghasilkan wacana penyelesaian tanpa kepastian.


Berebut Hutan

Permasalahan RTRWP Kalteng dipicu perbedaan alokasi kawasan hutan antara Perda Kalteng Nomor 8 Tahun 2008 Tentang RTRWP dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan Dephut.

Dari sekitar 15,3 juta hektare luas Kalimantan Tengah, baru sekitar 7,7 juta hektare yang sudah sesuai peruntukannya dan terakomodir dalam Perda RTRWP Kalteng maupun dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan.

Sisa kawasan hutan lain seluas 7,56 juta hektare masih tidak sesuai peruntukannya karena kegiatan konversi hutan umumnya menjadi lahan perkebunan dan pertambangan.

Save Our Borneo sebuah lembaga peduli penyelamatan lingkungan hidup Kalimantan, sebelumnya telah mendesak Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan bongkar ulang draft revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) setempat yang dinilai hanya menjadi ajang bagi-bagi lahan.

"Kami menilai Raperda RTRWP Kalteng harus dibongkar ulang dan dilakukan proses penyusunan kembali karena sarat kepentingan investasi dan eksploitasi lahan yang dibagi-bagi," kata Koordinator Save Our Borneo (SOB) Nordin.

Sementara DPRD Provinsi Kalteng sebelumnya juga mendesak pemerintah daerah setempat menerapkan prinsip kehati-hatian yang tinggi dalam mengkonversi kawasan hutan menjadi kawasan lain non-hutan.

Kalangan anggota dewan menyarankan agar pemerintah daerah lebih memilih memanfaatkan lahan-lahan kritis untuk diubah menjadi perkebunan, hutan tanaman industri maupun dihutankan kembali.

Menurut Anggota DPRD Kalteng lainya, Kimin E Subroto, kenyataan hutan Kalteng seluas 67,04 persen ternyata tak lebih baik mengingat jutaan hektare di antaranya telah mengalami deforestasi.

"Sebagian besar karena konversi lahan perkebunan kelapa sawit. Masuknya PBS sawit disamping memberikan warna baru, telah berdampak juga pada lingkungan sekitar," ucapnya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009