Den Haag (ANTARA News) - Di pojok pintu paviliun Pasar Malam Tong Tong, Den Haag, Negeri Belanda, pelopor wayang kancil asal Yogyakarta, Ki Ledjar Soebroto (72) terlihat asyik melukis.

Kali ini yang dilukisnya bukan wayang kancil, tapi Gusti Yesus sang putra Maryam, yang berwarna biru.

Pria yang biasa disapa dengan mbah Ledjar itu, tidak terusik ketika cucunya, Ananto Wicaksono hilir-mudik menggotong perangkat pertunjukan wayang di Bintang Theater, Pasar Malam Tong Tong.

Di gedung itu semalam baru digelar "Wayang Revolusi", oleh Ananto Wicaksano bersama Dr Hedi Heizler, dosen Archology SE Asia jurusan kebudayaan Java, Bali di Universitas Leiden Belanda.

"Wayang Revolusi" adalah wayang ciptaan Ki Ledjar. Di dinding gedung itu, terpampang foto Ki Ledjar yang mengenakan topi dan kaos kotak kotak di depan rumahnya di Yogyakarta dan beberapa tokoh wayang revolusi seperti Sultan Agung Hanyokrokusumo, Jan Pieterzoon dan barisan tentaranya.

Pertujukan "Wayang Revolusi" selama empat hari di Pasar Malam Tong tong, gedung pertunjukan berkapasitas lebih dari 1000 tempat duduk, mendapat sambutan dari penonton yang sebagian besar peranakan Jawa yang telah menetap puluhan tahun di Belanda.

Wayang Revolusi berkisah tentang peperangan Kerajaan Mataram (Islam) yang dipimpin Sultan Agung dengan Pasukan Kolonial Belanda, yang dipimpin Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterzoon, ketika memperebutkan pengaruh di Tanah Jawa.

Peperangan kedua tokoh dipilih Mbah Lejar demi mengingatkan catatan panjang sejarah Indonesia-Belanda.

Dikisahkan peperangan Sultan Agung dengan Jan Pieterzoon Coen berlangsung amat sengit. Keduanya mengerakan bala tentaranya dalam perang tanding dan adu taktik, demi memperluas kekuasaan di tanah Jawa.

Pada peperangan itu pasukan Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterzoon Coen menang telak. Pasukan Mataram kocar kacir namun semangat pembebasan tidak pernah pudar. Generasi berikutnya sampai anak cucu Sultan Agung berupaya mengusir anak cucu dan anak buah Jan Peterzoon Coen dari Tanah Jawa.

Jan Pieterzoon Coen meninggal pada 21 September 1629 Jan Peterzoon Coen digantikan Jacques Specx, Sultan Agung digantikan raja Mataram berikutnya.

Ki Ledjar Soebroto, selama ini dikenal menjadi kreator wayang-wayang alternatif, seperti wayang kancil, wayang yang mengambil latar dunia fabel. Ia juga menciptakan wayang yang mengambil latar cerita perjuangan para nabi.

Wayang Revolusi adalah kreasi terakhirnya, yang ditujuakn demi membangkitkan rasa kebangsaan anak bangsa, terutama yang kini menetap di negeri sebarang.

Meskipun wayang Ki Ledjar kurang mendapat tempat di negeri sendiri, namun Ki Ledjar mendapat apresiasi tinggi dari warga Indonesia di Belanda dan komunitas internasional.

Commando Diensten Centra Koninklijk Tehuis voor Oud Militairen Museum Bronbeek, museum militer Belanda, bahkan meletakan wayang dalam deret penting sejarah mereka.

Primadona

Wayang Revolusi juga menjadi primadona dalam pementasan di Pasar Malam Tong tong yang digelar untuk yang ke 51 kalinya itu.

Ki Ledjar juga terlihat sangat bersemangat menggelar "workshop" wayang kepada masyarakat Belanda.

Penampilan Ki Ledjar di Pasar Malam Tong Tong kali ini mengulang kembali kisah suksesnya tahun lalu di tempat yang sama.

Bahkan Ratu Belanda, yang keturunan keluarga Jan Peterzoon Coen, turut menyaksikan pertunjukkan Wayang Revolusi itu. Ratu juga tertarik untuk memiliki wayang berbentuk keluarganya itu.

Ki Ledjar memiliki sejarah panjang dalam seni tardisi di Indonesia. Pria kelahiran Wonosobo 20 Mei 1938, telah bergabung dengan kelompok Wayang Orang "Ngesthi Pandowo", sebagai penata rias pada 1960.

Ia juga dipercaya menyiapkan wayang yang dimainkan Ki Narto Sabdo pada 1964. Saat itu ia mulai terlibat pertunjukan wayang kulit sebagai Srati.

Ledjar lantas mendirikan Sanggar Wayang Kancil di Yogyakarta dan ikut membidani lahirnya Balai Budaya Minomartani di Sleman Yogyakarta. Ledjar juga pernah ditunjuk sebagai koordinatyor bidang Seni Pedalangan, Badan Koordinasi Kesenian Nasional (BKKNI Pusat) selama empat tahun.


Wayang Samurai

Selain terus melestarikan Wayang Kancil dan Wayang Revolusi, Ki Ledjar juga menciptakan Wayang Kontemporer seperti Wayang Kartun Jepang Samurai X di tahun 2002 untuk keperluan pentas dalang dari Jepang yang bernama Ryoh Matsumoto.

Selain itu ia juga menjadi kreator Wayang Jaka Tarub yang dibuat untuk keperluan pentas kolaborasi wayang dan kethoprak di Yogyakarta di tahun 2004

Pengalaman mentas Ki Ledjar Soebroto sudah tidak terhitung terutama di Yogyakarta dan secara rutin mendapat kesempatan untuk melakukan pentas Wayang Kancil di Arena Sekaten Alun-alun Keraton Yogyakarta.

Ki Ledjar Soebroto sejak tahun 1980 menciptakan berbagai bentuk wayang kancil dalam jumlah ratusan sebagai salah upaya melestarikan dan mengembangkan seni Wayang Kancil yang sudah hampir punah.

Koleksi

Wayang kreasi Ki Ledjar dikoleksi beberapa museum dan kolektor di Indonesia dan dunia.

Beberapa museum dan kolektor yang telah mengoleksi wayang kreasi ciptaan Ki Ledjar Soebroto antara lain Museum Sanabudaya di Yogyakarta, mengkoleksi seperangkat wayang kancil kreasi Ki Ledjar Soebroto.

Balai Budaya Minomartani di Yogyakarta, mengkoleksi seperangkat Wayang Kancil kreasi Ki Ledjar Soebroto. Museum Mayang H. Budiharjo di Pondok Tingal Magelang, Jawa Tengah.

Selain dikoleksi oleh Ki Manteb Sudarsono di Karangayar, Jawa Tengah dan Museum Wayang di Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta juga mengkoleksi seperangkat Wayang Kancil kreasi ciptaan Ki Ledjar Soebroto.

Beberapa negara yang mengoleksi wayang kancil Ki Ledjar adalah Tim Byard-Jones, University Of London, di Inggris, Ubersee Museum di Bremen Jerman, Dr. Walter Angst di kota Salem Negara Jerman dan Arno Mozoni-Fresconi di Hamburg Jerman.

Volkenkundig Museum Gerardus Van der Leeuw di kota Groningen, V.M Clara Van Groenendael di kota Amsterdam Belanda, Tamara Fielding "The Shadow Theather Of Java" di New York Amerika Serikat dan Museum Of Anthropology (Dominique Major) di Kanada juga mengkoleksi wayang Ki Ledjar.

Wayang Kancil juga dikoleksi oleh Museum Westfreis di kota Hoorn Belanda, Museum Tropen, Museum Horn, di Amsterdam, dan Museum Kantjiel, di Leiden.

Ki Ledjar juga mendapat penghargaan atas kepeloporan, kreativitas, inovasi dan jasanya dalam menghidupkan dan mempopulerkan kembali kesenian Wayang Kancil yang nyaris punah dari Majalah Gatra.(*)

Oleh oleh Zeynita Gibbons
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009