Jakarta (ANTARA News) - Jakarta Fair Kemayoran yang semula bisa menjadi ajang pameran produk-produk dalam negeri berkualitas, dari tahun ke tahun, semakin meninggalkan hakikatnya sebagai pasar rakyat, demikian anggota Komisi E DPRD DKI Agus Dharmawan dan anggota Komisi B DPRD DKI Jamaluddin Panganro di Jakarta, Rabu.

Menurut Agus, selama ini Jakarta Fair tidak memudahkan kalangan pelaku usaha kecil menengah (UKM) dan industri kecil untuk berpartisipasi di acara yang seharusnya kenduri rakyat itu.

"Meski terbilang cukup terkenal dan meriah dalam setiap penyelenggaraanya, keberadaan JFK (Jakarta Fair Kemayoran) tersebut justru semakin jauh dari hakikatnya sebagai pasar rakyat," katanya.

Hal ini terlihat dari harga tiket yang tinggi, yakni untuk Senin-Jumat ditetapkan Rp 15 ribu per orang, sementara Sabtu dan Minggu Rp20 ribu per orang.

Selain itu harga tiket juga mencekik dimana pengunjung harus dibebani biaya parkir sebesar Rp5 ribu untuk sepeda motor.

Padahal, menurut Agus, perhelatan bergengsi yang mempunyai ikatan emosional dengan warga Jakarta ini sejatinya untuk membantu kalangan pelaku usaha kecil menengah (UKM) dan industri kecil serta masyarakat

Jakarta pun memiliki kebanggaan tersendiri atas terselenggaranya kegiatan ini.

"Apalagi kegiatan yang digelar setahun sekali ini merupakan rangkaian acara peringatan hari ulang tahun (HUT) Kota Jakarta. Sayangnya, roh pasar rakyat tersebut kini semakin ditinggalkan oleh pengelola," katanya.

Semakin kaburnya roh pasar rakyat itu, menurut dia, sudah terlihat mulai tahun 2004 dan terus berlanjut hingga pelaksanaan Jakarta Fair tahun ini.

Agus menganggap hal itu terjadi karena Jakarta Fair telah dikomersilkan dengan melimpahkannya ke pihak swasta, sehingga agar bisa berjualan di JFK, pelaku usaha harus merogoh kocek cukup besar untuk membayar sewa stand.

"Jika dilihat di lapangan, pedagang kecil dapat dihitung jari, bahkan pedagang kerak telor yang menjajakan makanan asli Betawi justru berjualan di pinggir jalan akibat tak mampu menyewa tempat di dalam area PRJ," ungkapnya.

Sementara di dalam lokasi Jakarta Fair, kata Agus lagi, justru lebih banyak pengusaha besar yang memamerkan produk-produk luar negeri.

Agus meminta Pemprov DKI Jakarta bertindak tegas, apalagi sejak dilimpahkan ke pihak swasta, yakni Jakarta International Expo (JIExpo), Pemprov DKI tidak pernah mendapat deviden dari pengelola sejak 2004.

Kalau tidak mampu memberikan deviden, Agus mengusulkan Pemprov DKI tidak melanjutkan kerja sama dengan JIExpo dan egera mengambil alih penyelenggaraannya.

"Harusnya memang pihak PRJ segera memberikan kontribusi kepada Pemprov DKI. Kalau bicara Pemda berarti kan bicara masyarakat Jakarta sehingga kontribusi ini tentu dapat digunakan untuk kepentingan rakyat," timpal Jamaluddin Panganro, anggota Komisi B DPRD DKI.

Menurut dia, Pemprov DKI harus menyiapkan perda untuk mengatur penyelenggaraan PRJ yang lebih berpihak kepada warga Jakarta dan menguntungkan bagi Pemprov DKI Jakarta. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009