Jenewa (ANTARA News/AFP) - Bentrokan-bentrokan antara gerilyawan muslim garis keras dan pasukan pemerintah Somalia telah menewaskan sekitar 250 warga sipil dan membuat lebih dari 160.000 orang meninggalkan rumah mereka sejak bulan lalu, kata badan pengungsi PBB, Jumat.

Pertempuran mengakibatkan korban-korban sipil, kehancuran dan pengungsian baru, kata William Spindler, jurubicara Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR).

"Menurut catatan sejumlah rumah sakit lokal Somalia, lebih dari 250 warga sipil tewas dan sedikitnya 900 orang cedera sejak bulan lalu," katanya.

"Kami memperkirakan bahwa sejak awal pertempuran pada Mei, lebih dari 160.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan berlindung di tempat lain di Somalia atau di negara-negara tetangga," tambahnya.

Ia mengatakan, sekitar 26.000 orang mengungsi dari Mogadishu antara 19 dan 22 Juni saja, di tengah ofensif kelompok Islamis yang menguasai banyak wilayah di negara itu.

Sejumlah besar orang melarikan diri ke Kenya, dimana 38.000 pengungsi tiba sejak awal tahun ini, yang hampir semuanya orang Somalia, kata badan PBB itu.

Di kamp Dadaab di Kenya, yang disebut UNHCR sebagai kompleks pengungsi terbesar di dunia dengan lebih dari 280.000 orang, 4.104 orang tiba pada Juni.

Mereka yang meninggalkan Mogadishu juga menghadapi kesulitan-kesulitan besar ketika berusaha pergi, dan banyak yang naik minibus yang menarik ongkos 250 dolar atau lebih, kata UNHCR.

Ketua parlemen Somalia Sheikh Aden Mohamed Nur pada 20 Juni mendesak negara-negara tetangga mengirim pasukan ke negaranya dalam waktu 24 jam untuk membantu pemerintah transisi Somalia.

Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Sheikh Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.

Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri.

Sekitar 300 orang, banyak diantaranya warga sipil, tewas dan lebih dari 125.000 warga kehilangan tempat tinggal sejak Al-Shebab meningkatkan kekerasan untuk menggulingkan pemerintah Sharif pada awal Mei. Jumlah pengungsi di dalam negeri itu telah mencapai 1,3 juta jiwa, menurut PBB.

Uni Afrika menempatkan sekitar 4.300 prajurit penjaga perdamaian di negara Tanduk Afrika tersebut.

Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.

Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.

Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.

Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh Al-Shabab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.

Washington menyebut Al-Shabab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.

Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara itu.

Pemerintah transisi lemah Somalia tidak mampu menghentikan aksi perompak yang membajak kapal-kapal dan menuntut uang tebusan bagi pembebasan kapal-kapal itu dan awak mereka.

Perompak, yang bersenjatakan granat roket dan senapan otomatis, menggunakan kapal-kapal cepat untuk memburu sasaran mereka.

Perairan di lepas pantai Somalia merupakan tempat paling rawan pembajakan di dunia, dan Biro Maritim Internasional melaporkan 24 serangan di kawasan itu antara April dan Juni tahun lalu saja.(*)

Pewarta: Ardianus
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009