Surabaya (ANTARA News) - Hasil karya sastra para sastrawan Indonesia kurang begitu dikenal di luar negeri, karena kurangnya terjemahan yang berdampak pada industrialisasi karya sastra di Indonesia kurang diminati.

"Pengembangan karya sastra tidak hanya berdasar pada penggunaan bahasa semata, tetapi juga harus didukung kekuatan ekonomi, dan politik, " kata Guru Besar Sastra Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Budi Darma di acara bedah buku 20 cerpen dan 60 puisi Indonesia terbaik anugerah sastra Pena Kencana di Surabaya, Minggu,

Sebagai contoh, ia menunjuk, sastrawan Inggris, yang hasil karyanya bisa dikenal pesat ke seluruh penjuru dunia. Hal itu, karena didukung oleh kekuatan ekonomi dan politik.

Menurut dia, kurang begitu dikenalnya sastra Indonesia di luar negeri lantaran tren sastra Indonesia cenderung tidak mengarah ke konflik.

Padahal umumnya para pecinta sastra di luar negeri cenderung tertarik pada tulisan sastra yang berbau konflik dan etnik yang tidak pernah dijumpai disana, seperti karya Mucthar Lubis yang selalu kontra dengan kebijakan pemerintah, dan Akhmad Thohari dengan tulisan kehidupan ronggeng.

Ia juga memprihatinkan masih lemahnya kemampuan membaca masyarakat Indonesia sehingga menyebabkan minimnya ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap ilmu sastra, apalagi sastra murni, dan hanya orang-orang tertentu saja yang mau mendalami dan mempelajari karya sastra.

"Mereka umumnya hanya mau membaca novel yang bersifat pop yang kurang begitu berkesan, kondisi ini diperparah dengan munculnya banyak sinetron," katanya.

Mantan Rektor Unesa yang juga menjadi juri dalam penganugerahan 20 cerpen dan 60 pusi Indonesia mengutarakan, tren sastra sekarang sudak masuk dunia industri, dimana itu memunculkan segmentasi karya sastra di kalangan tertentu.

Apalagi, lanjut dia, hal itu didukung dengan banyaknya industri penerbitan di Indonesia, yakni dalam sehari 25 novel diterbitkan, namun novel itu sendiri belum tentu bisa hidup dalam waktu lama.

"Bandingkan ketika hasil karya Nanung Pramudya di tahun 1930-an yang ketika itu hanya mencetak 150 eksemplar, tetapi karyanya terus dikenang, padahal ketika itu banyak juga diterbitkan novel pop lainnya yang jumlahnya lebih banyak tapi hasil karyanya tidak bertahan lama," katanya.

Sementara itu, masih bersifat ekslusifinya sastra Indonesia juga dibenarkan kelima novelis lainnya di Jawa Timur yang tahun ini mendapat penganugerahan dari Pena Kencana.

Kelima novelis itu Lan Fang, Stefani Irawan, Muttaqin, Triyanto Triwikromo, dan Mardiluhung.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009