Ghazni, Afghanistan (ANTARA News/AFP) - Dua warga sipil dan seorang polisi tewas di Afghanistan, Rabu, kata pihak berwenang, di tengah meningkatnya kekerasan gerilya beberapa pekan menjelang pemilihan umum presiden.

Kedua warga sipil itu tewas ketika sebuah bom improvisasi yang dipasang di sepeda yang ditinggalkan diledakkan dari jarak jauh di dekat konvoi truk yang memasok perbekalan untuk pasukan asing di kota Ghazni, sebelah selatan Kabul, kata polisi.

Seseorang yang sedang lewat juga terluka dalam ledakan itu, kata kepala kepolisian provinsi itu Khyal Baz Sherzai kepada AFP.

Ia menuduh Taliban bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Dalam insiden lain seorang polisi tewas ketika sedang menjinakkan sebuah bom pinggir jalan di Kandahar, kota lain yang dilanda kekerasan di wilayah selatan, kata kementerian dalam negeri dan polisi setempat.

"Ia sedang berusaha menjinakkan bom. Itu adalah bom Taliban," kata seorang polisi lokal kepada AFP di lokasi ledakan.

Sementara itu, kementerian pertahanan mengatakan, pasukan membunuh dua gerilyawan dalam tembak-menembak di penjuru lain Ghazni. Bentrokan terjadi setelah kelompok militan menyerang pasukan yang berpatroli di daerah tersebut.

Kekerasan akibat pemberontakan Taliban yang meningkat dalam beberapa pekan ini telah menewaskan puluhan prajurit internasional dan warga sipil.

Ribuan marinir AS dan prajurit Inggris yang didukung oleh pasukan keamanan Afghanistan bergerak memasuki sejumlah daerah Taliban yang paling berbahaya dalam operasi besar-besaran untuk menumpas pemberontakan mereka.

Terdapat sekitar 90.000 prajurit internasional, terutama dari AS, Inggris dan Kanada, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban, kelompok yang berkuasa antara 1996 dan 2001.

Meski ada pasukan internasional, Taliban sejak dijatuhkan berhasil menyatukan kekuatan lagi dan melakukan pemberontakan dalam upaya menggulingkan pemerintah dukungan Barat di Kabul.

Taliban mencapai kemajuan setiap tahun dan 2009 menjadi masa paling mematikan bagi pasukan internasional yang sebagian besar orang Barat di Afghanistan.

Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.

Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.

Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.

Antara 8.000 dan 10.000 prajurit internasional akan bergabung dengan pasukan militer pimpinan NATO yang mencakup sekitar 60.000 personel di Afghanistan untuk mengamankan pemilihan presiden Afghanistan pada 20 Agustus, kata aliansi itu.

Pemberontakan meningkat dalam beberapa pekan terakhir ini, yang menambah kekhawatiran mengenai keamanan dalam pemilihan presiden Afghanistan yang kedua itu.

Pemilu yang akan menetapkan presiden dan dewan provinsi itu dipandang sebagai ujian bagi upaya internasional untuk membantu menciptakan demokrasi di Afghanistan, namun pemungutan suara tersebut dilakukan ketika kekerasan yang dipimpin Taliban mencapai tingkat tertinggi.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009