Apa yang dikatakan Icuk dibuktikannya di atas lapangan Brondby Hallen. Berkat gaya permainan bertahan dan memperpanjang rally selama mungkin, Icuk mampu mengalahkan hampir seluruh raksasa bulutangkis dunia saat itu, tak kecuali pemain kidal China, Yang Yang, Morten Frost Hansen (Denmark), Prakas Pandukone (India), Han Jian (China), dan seniornya, Liem Swie King.

"Itu (bermain panjang) benar-benar terjadi sejak awal pertandingan. Pada saat itu saya bisa skipping rope selama 22 menit tanpa berhenti," kata Icuk.

"Di perempat final tangan berdarah dan saat final lawan King malah sudah bernanah. Tapi saya paksakan," ujarnya menambahkan.

Baca juga: Olimpiade ditunda, persiapan Praveen/Melati dimulai dari nol lagi

Dengan gaya bermain seperti itu, ia memaksa lawan untuk adu stamina. Jadi ketika lawan menang di set pertama, Icuk bisa menggempur lawannya habis-habisan di set kedua maupun ketiga.

"Dia hanya mengembalikan bola-bola saya tapi saya tidak bisa mematikannya. Benar-benar aneh saya belum mendapat lawan seperti ini," kata Morten Frost Hansen dalam laporan Kompas, 8 Mei 1983.


Terlalu cepat

Bagi Icuk yang baru muncul di kejuaraan internasional pada tahun 1981, bahkan belum pernah merasakan mengangkat trofi All England, kemenangan di Kejuaraan Dunia itu bagaikan mimpi semalam.

Pasalnya, setelah menjadi juara dunia, prestasi Icuk malah menurun. Selama dua tahun setelah menjadi juara dunia, Icuk hanya menjuarai beberapa turnamen seperti Malaysia Terbuka 1984 dan Thailand Terbuka 1984. Berikutnya Piala Dunia (1985), SEA Games (1985, 1987 dan 1989), Indonesia Terbuka 1986 dan 1988, China Terbuka 1986 serta empat kali menjadi anggota tim Thomas Cup (1984, 1986, 1988, 1990).

Baca juga: PBSI belum tentukan strategi untuk Piala Thomas dan Uber 2020

Pada turnamen Thomas Cup 1984, ia ikut berperan serta membawa Indonesia berhasil merebut kembali supremasi bulu tangkis beregu itu dari juara bertahan China, bersama Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadiayanto, Kartono, Heryanto, Cristian Hadinata, dan Hadibowo.

Sebagaimana dilaporkan dalam buku "Sejarah 15 Olahragawan Terpopuler di Indonesia (1967-1987)", titel juara dunia itu dinilai Icuk terlalu cepat, sebab secara psikologis ia belum siap menerima penghargaan setinggi itu.

“Saya terlalu cepat menjadi juara. Harusnya saya baru mencapai prestasi puncak pada 1984 atau 1985. Nyatanya saya menjadi juara dunia sebelum waktunya,” kata Icuk.

Bernostalgia momen 37 tahun yang lalu sepertinya menandakan bahwa kita sudah rindu menanti kapan lagi sekiranya bisa menyaksikan All Indonesian Final pada sebuah kejuaraan terhormat dan bergengsi seperti Kejuaraan Dunia Bulutangkis?

Baca juga: PBSI tunggu pengumuman kualifikasi pengganti Olimpiade dari BWF

Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2020