Tegucigalpa (ANTARA News/AFP) - Di tengah pembangkangan yang semakin menjadi-jadi para pemimpin de facto Honduras, Selasa, memberi waktu 72 jam bagi staf dari Kedutaan Besar Venezuela untuk pergi seraya menuduh negeri itu mengancam akan menggunakan kekuatan dan mencampuri urusan dalam negeri Honduras.

Para diplomat Venezuela itu tak ayal menolak perintah pengusiran itu dengan mengatakan perintah itu dikeluarkan oleh pemimpin "pemerintah tidak sah " yang mendongkel Presiden Manuel Zelaya dalam satu kudeta bulan lalu.

Sikap keras tersebut diperlihatkan setelah perundingan dengan Zelaya macet dan di tengah tekanan internasional bagi pemulihan jabatannya.

Uni Eropa, Selasa, mengumumkan perhimpunan regional itu akan membatasi kontak dengan pemerintah sementara --yang mendukung penggulingan Zelaya oleh militer pada 28 Juni-- dan menyulut pembekuan baru pendanaan negeri tersebut.

Namun Roberto Micheletti, orang yang mengambilalih jabatan setelah tentara mengusir Zelaya, mempertahankan sikap garis kerasnya dan bersumpah menangkap Zelaya jika ia pulang ke Honduras sebagaimana yang diingininya.

Oscar Arias, peraih Hadiah Nobel Perdamaian dan penengahan krisis itu, Minggu, memperingatkan bahwa Honduras berada di ambang perang saudara dan berjanji pembicaraan mengenai krisis tersebut akan dilanjutkan setelah jeda 72 jam.

Zelaya, yang berjanji dalam beberapa kesempatan ia akan pulang ke Honduras, Selasa, mengatakan ia akan pulang bersama massa yang berkumpul di beberapa negara tetangga Honduras di Amerika Tengah setelah Kamis, ketika tenggat Arias dijadwalkan berakhir.

"(Negara) saya memiliki perbatasan panjang dengan El Salvador, saya memiliki perbatasan dengan Guatemala dan Nikaragua. Perjalanan dapat dilakukan melalui udara, darat atau laut," kata Zelaya kepada radio Honduras dari tempat pengasingan di Nikaragua.

Utusan pemerintah sementara pada Minggu menolak satu usul dari Arias agar Zelaya pulang sebagai presiden yang bertugas di dalam pemerintah pengasingan.

Para pemimpin de facto berusaha mengusir staf kedutaan besar Venezuela akibat "ancaman mengenai penggunaan kekuatan (dan campur tangan dalam urusan dalam negeri)," demikian antara lain isi pernyataan dari Kementerian Luar Negeri.

Semua staf Kedutaan Besar Honduras juga akan meninggalkan misi diplomatik mereka di Karakas, kata pernyataan tersebut.

Venezuela, seperti umumnya masyarakat internasional, belum mengakui pemerintah de facto Honduras, dan kuasa usahanya Uriel Vargas mengatakan staf itu akan tetap berada di Honduras.

"Kami tak mengakui pemerintah Roberto Micheletti. Itu adalah pemerintah de facto, yang dipimpin oleh satu kudeta dan didukung oleh bayonet," kata Vargas kepada wartawan di Tegucigalpa.

Presiden Venezuela Hugo Chavez adalah pendukung utama Zelaya, yang secara politik berpaling makin ke kiri setelah memangku jabatan pada 2005.

Chavez, Selasa, mengatakan pengusiran Zelaya juga telah menjadi serangan terhadap Venezuela dan negara sayap kiri regional. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009