Sanur, Bali (ANTARA News) - Apa hubungannya lesung, jalanan, dan musik dangdut? Tentunya tidak ada, tapi tiga hal itu bisa bercerita tentang seni Liping. Lesung, tempat orang menumbuk padi, sudah jarang terlihat.

"Orang makin hidup modern, lesung sudah pensiun. Dandang untuk menanak nasi diganti magic jar. Sumur timba diganti pompa. Tidak ada yang salah, cuman pemandangannya jadi berbeda," kata Bejo Wage Suu (35).

Pria asli Solo tersebut tidak ingin pemandangan masa kecilnya cuma sebatas ingatan. Dia lalu membuat miniatur patung orang dengan kegiatan tradisional, seperti menumbuk padi dan menanak nasi dengan dandang.

Idenya lahir tahun 2002, ketika Bejo masih di jalanan Solo, menjajakan tulisan ukir di trotoar.

Mulailah dia mencari bentuk dan karakter, sekaligus memberi nama "proyeknya" tersebut seni Liping, plesetan dari kata bahasa Inggris "Living" yang artinya kehidupan.

Pengalaman belajar ukir secara otodidak membuatnya tidak ragu untuk mencoba hal baru. Awalnya, Bejo menggunakan kayu dari kotak telur, namun selanjutnya dia memakai kayu pinus."Lebih murah, lebih ringan, dan seratnya lebih bagus. Pemasoknya biasa mensuplai ke pengrajin kerajinan lain," kata Bejo.

Dia menggunakan pisau cutter dan gergaji untuk membentuk patung yang rata-rata tingginya 7 cm. Setelah berbentuk miniatur manusia, patung itu diberi warna dengan cat kain dan ditambahi ornamen seperti baju, gelang, topi,lesung, dan sepeda.

Idenya membuat miniatur, tidak seketika mengangkatnya dari jalanan. Pernah, demi punya uang, Bejo mengabulkan tawaran seorang pejalan kaki yang ingin memiliki miniaturnya dengan uang Rp3 ribu.

Keadaannya berangsur membaik sejak tahun 2004, ketika seorang staf Dinas Perindustrian Surakarta mengajak Bejo berpameran.

Seni Liping untuk pertama kali ikut pameran pada Festival Keraton Nusantara. Sejak itu dirinya menggunakan pameran untuk mengenalkan karya kepada masyarakat.

"Lalu tahun 2005 saya beri nama tim kami 'Jopajapu'. Itu istilah bahasa Jawa untuk jampi-jampi buat anak kecil kalau sakit," katanya.

Pameran demi pameran menghasilkan daftar pesanan dan kini Bejo kini dibantu tiga anggota Jopajapu yang sudah dia latih hingga delapan bulan.

Bejo (yang minta nama lahirnya tidak ditulis agar tidak rancu dengan nama "panggung") mampu menyelesaikan satu miniatur dalam satu jam. Kualitasnya dibagi dalam kategori kolektor, pameran, dan toko. Pengerjaan miniatur untuk kolektor memakan waktu tiga kali lebih lama karena lebih detail, termasuk ekspresi wajah.

Dia tidak menggunakan amplas dengan alasan akan membuat miniatur tampak seperti boneka. "Sayatannya harus tetap terlihat, untuk kepala harus 10 kali sayatan, lebih dari itu pasti jadi terlalu halus." kata lulusan STM mesin tersebut.

Ayah dua anak itu juga tidak khawatir jika orang meniru karyanya. "Silakan saja, pasti beda. Pernah ada yang meniru tapi tidak tahan lama. Mungkin karena beda motivasinya. Saya untuk melestarikan tradisi kita, mereka mungkin untuk cari uang saja," kata Bejo. Dia mengaku sudah mantap dengan karya yang ditekuninya sekarang.

Saat berpameran, Jopajapu akan ditemani Darminto, pelukis asal Jogyakarta. Darminto membuat sketsa orang lewat secarik kertas sekitar 5x5 cm. Sketsa itu lalu dipadukan dengan miniatur orang yang sedang melukis.

"Menggambar wajah orang dengan ukuran sekecil ini lebih sulit. Kalau coretannya salah sedikit saja, sudah tidak bisa diperbaiki, malah nanti jadi wajah orang lain," kata Darminto.

Tim Jopajapu mengembangkan seni Liping tanpa bantuan pihak lain. Tidak ada tempat untuk bertanya. Sekolah mereka adalah pengalaman, termasuk pengalaman ditipu.

Suatu kali karya mereka dititipkan ke orang lain untuk sebuah pameran. Ternyata karya itu menjadi juara pertama atas nama orang yang dititipi. Setahun kemudian, barulah kabar itu sampai ke Bejo dan Jopajapu. Ternyata hadiah pemenang satu ternyata sudah "diamankan" teman mereka tersebut.Jopajapu "gigit jari".

Lewat Liping, Jopajapu juga meraih penghargaan antara lain Catur Mataram (berbentuk bidak-bidak prajurit Mataram) yang memenangi kompetisi Design Craft Award 2005. "Pergelaran Wayang Kulit" juga meraih prestasi yang sama pada 2006.

Di sisi lain, mereka juga apatis dengan peran pemerintah dalam membantu pengrajin kecil. "Mengurus apa-apa sulit, mau pinjam untuk modalpun harus ada agunan. Apa bedanya dengan bank," kata Bejo.

Jopajapu punya pengalaman lain yang tidak menyenangkan. Mereka pernah mengajukan diri agar diikutkan sebagai anggota kontigen untuk pameran kerajinan (International Handicraft Trade Fair) di Jakarta beberapa bulan lalu. Terdaftar 15 usaha kerajinan yang akan dikirim sebagai kontingen dan Jopajapu tidak termasuk.

"Saya minta sedikit tempat ke seorang kenalan di stand dia.Liping-nya saya tumpuk karena tempatnya sempit sekali, tidak sampai semeter. Eh, selesai pameran, staf Pemda minta agar dalam laporan ke atasannya saya masuk sebagai anggota kontingen, ada-ada saja," kata Bejo.

Jopajapu setiap tahun mengikuti sekitar empat pameran, terakhir kali mereka tampil di Asia Africa Art & Culture Festival (AACF) di Sanur Bali, 12-16 Agustus 2009.

Pada festival yang banyak dikunjungi wisatawan asing tersebut sekitar 200 miniatur Liping terjual, belum termasuk pesanan yang datang. "Ada yang pesan miniatur Sanur Village Festival, termasuk miniatur panggung dan stand, Ukurannya hampir 1 x 1 meter, akan makan waktu empat bulan mengerjakannya," kata Bejo.

Sejak beberapa tahun terakhir, Liping memang tidak perlu lagi dijajakan di trotoar dan bus antar-kota. Bejo dan anak buahnya di Jopajapu sudah sibuk dengan berbagai pesanan setiap kali mereka pameran.

"Tapi kalau permintaannya aneh-aneh, saya tidak mau kerjakan. Ada yang pernah minta miniatur ukuran lebih besar, saya tolak. Kami jadi malas kalau menuruti semua keinginan pemesan," kata Bejo. Permintaan yang 'macam-macam' itu juga yang membuat Bejo teringat akan dangdut.

Istri seorang penyanyi dangdut terkenal pernah memesan Liping berbentuk suaminya yang sedang beraksi di panggung.

"Saya tolak. Lha, dengan segala hormat, saya tidak suka dangdut, akibatnya saya juga nggak suka penyanyinya. Susah kalau kita membuat yang tidak kita suka," kata Bejo.

Selama wawancara, dia mengingatkan bawa ada dua 'u' pada kata terakhir nama panggungnya itu. "Ada arti sendiri, tapi tidak untuk orang banyak," katanya. (*)

Oleh Aditia Maruli
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009