Jakarta,(ANTARA News) - Dunia perlu didorong menuju gerakan global untuk mengkriminalisasi kepemilikan senjata nuklir, termasuk lima negara pemilik senjata nuklir yang dilegalkan seperti AS, Rusia, Prancis, Inggris dan China, kata Pakar Politik Prof Dr Dewi Fortuna Anwar.

"Dunia harus mengubah pandangan terhadap negara pemilik senjata nuklir sebagai `rogue states`, termasuk lima negara pemilik senjata nuklir yang dilegalkan," kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI itu, pada pidatonya dalam Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture IX menyambut HUT LIPI ke-42 di Jakarta, Jumat.

Saat ini masih tersedia 27 ribu hulu ledak nuklir dengan 12 ribu di antaranya siap diluncurkan, di mana hampir seluruhnya milik AS dan Rusia, hanya sekitar 200 hulu ledak nuklir yang dimiliki negara lainnya.

Menurut anggota dari "UN Secretary General`s Advisory Board on Disarmament Matters" (Badan Penasihat Sekretaris Jenderal PBB untuk Masalah Perlucutan Senjata itu), berbagai perjanjian yang berusaha meniadakan senjata pemusnah massal tersebut, justru mengukuhkan hirarki internasional yang tidak adil.

"Perjanjian NPT (Traktat Non Proliferasi) Nuklir yang efektif mulai 1970 untuk mencegah pengembangan dan penyebaran senjata nuklir dan ditandatangani 189 negara, justru mengukuhkan status lima negara nuklir: AS, Uni Sovyet/Rusia, Inggris, Prancis dan China," katanya menegaskan.

Dengan kata lain, ujar dia, 189 negara lain dilarang mengembangkan dan memiliki senjata nuklir, dan hanya lima negara itu saja yang boleh.

Bahkan kontrol atas senjata nuklir yang melarang negara lain, di luar kelima negara itu, untuk mengembangkan dan memiliki senjata nuklir itu, juga tidak terlalu efektif dengan adanya tiga negara yang menolak NPT, yakni India, Pakistan dan Israel, ditambah Korea Utara yang menyatakan keluar dari NPT pada 2003.

Perlucutan senjata nuklir bagi lima negara juga semakin gagal, Dewi memberi contoh, Senat AS menolak ratifikasi "Comprehensive Test Ban Treaty" (CTBT), ditambah lagi teknologi baru persenjataan pemusnah massal terus dikembangkan.

Namun, AS dan sekutunya justru menggunakan kesepakatan NPT itu mengontrol negara-negara non-NPT dengan memberi sanksi pada pelanggar NPT seperti sanksi ekonomi, isolasi bahkan serangan, ia mencontohkan ketika AS menyerang Irak.

"Jadi istilah `rogue states` hanya untuk negara nonnuklir anggota NPT yang ingin memiliki senjata nuklir. Fokus AS justru pada ancaman negara nonnuklir seperti ini, misalnya, dengan menuding Iran. Sebaliknya mengabaikan perlucutan senjata dirinya sendiri. Ini adalah suatu diskriminasi dan sikap unilateral yang akan melahirkan konflik baru," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009