Yogyakarta (ANTARA News) - Masyarakat Indonesia mengalami distorsi makna hak kekayaan intelektual (HKI) dan "genetic resources, traditional knowledge and folklore" (GRTKF) atau sumber daya genetik, pengetahuan tradisional, dan ekspresi budaya, sehingga kerap mencampuradukkan dua rezim berbeda tersebut.

"Departemen Luar Negeri (Deplu) dalam waktu dekat akan menggandeng media massa untuk mengklarifikasi dua rezim tersebut. Antara HKI dan GRTKF adalah dua rezim yang berbeda, sekali pun antara keduanya saling terkait, " kata Direktur Perjanjian Ekonomi Sosial Budaya Deplu, Damos Dumoli Agusman, usai lokakarya GRTKF di Yogyakarta, Kamis.

Menurut dia, HKI lebih cenderung memberikan perlindungan terhadap karya cipta yang bersifat individual, sedangkan GRTKF adalah memberikan perlindungan terhadap karya cipta yang bersifat komunal, salah satunya adalah seni dan budaya.

"Masyarakat selalu terpaku untuk menggiring masalah warisan seni dan budaya agar masuk dalam logika HKI, padahal seni dan budaya tidak dapat dimasukkan sebagai HKI, sehingga tidak tepat jika masyarakat meminta kepada pemerintah agar seni dan budaya seperti tari Pendet atau Reog mendapat perlindungan HKI," katanya.

Menurut dia, perlindungan HKI memiliki beberapa aturan yang akan tidak tepat bila diterapkan untuk memberikan perlindungan terhadap seni dan budaya, seperti limitasi waktu.

"Namun, yang patut disayangkan adalah belum ada GRTKF di tingkat nasional dan pembahasan GRTKF di tingkat internasional yang selesai bahkan terancam menemui jalan buntu karena ada tentangan dari negara-negara maju," katanya.

Lokakarya GRTKF merekomendasikan pemerintah mempercepat pembahasan hukum internasional untuk perlindungan GRTKF dan mempercepat proses pembahasan undang-undang (UU) tentang GRTKF.

Indonesia di tingkat internasional berinisiatif mencari jalur lain di luar pembahasan di World Intellectual Property Organization (WIPO) agar pembahasan GRTKF tersebut tidak menemui jalan buntu, yaitu menggandeng negara-negara berkembang seperti Afrika dan Amerika Selatan.

"Langkah tersebut didasari `Bandung Declaration` yang dibuat dua tahun lalu yang juga menyuarakan tentang GRTKF," katanya.

Ia mengatakan, dalam hukum internasional mengenai GRTKF, juga akan dibahas tentang klaim seni dan budaya karena selama ini pengertian klaim tersebut belum ada. "Kami akan mendorong pemerintah daerah untuk mencatat seni dan budaya yang ada di daerahnya," katanya.

Hasil catatan tersebut kemudian dijadikan basis data untuk kepentingan klaim seni dan budaya, serta disampaikan ke dunia internasional, sehingga jika ada negara yang menyerobot klaim tersebut, akan dikenai sanksi.

Damos mengatakan, untuk UU GRTKF perlunya dukungan dari legislatif agar pembahasan tersebut diprioritaskan, sehingga ada dua UU, yaitu sumber daya genetik serta pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional.

"Draf rancangan undang-undang (RUU) sudah ada, mudah-mudahan tahun depan bisa ditindaklanjuti oleh DPR," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009