Jakarta (ANTARA News) - Pasangan calon pengantin khususnya dari kalangan Muslim akan diwajibkan lulus pranikah sebelum secara resmi menikah, karena dengan mengikutri kursus pranikah diharapkandapat mewujudkan keluarga sakinah yang bahagia dan sejahtera.

Kepala Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarain Perkawinan (BP4) Departemen Agama H Tulus Sastrowidjojo didampingi Kepala BKKBN Sugiri Syarief, mengemukakan hal itu di Jakarta, Selasa, disela-sela acara Workshop pendidikan Pranikah dan Parenting Menuju Keluarga Sakinah dan Sejahtera di Era Globalisasi.

Menurut Tulus, dengan bekerjasama Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BBKBN), maka di setiap Kantor Urusan Agama (KUA) di tiap kecamatan mulai tahun 2009, sudah dapat melaksanakan kursus pranikah bagi calon pengantian selama 1-3 minggu.

Materi pemberian kursus pranikah, antara lain proram kesehatan reproduksi (kespro) tentang upaya menjaga kesehatan ibu saat hamil, melahirlkan, pentingnya progam keluarga berencana (KB), hukum syariah tentang perkawinan dalam Islam, seperti menyucikan hadas besar dan kecil, manajemen kuangan agar mampu mendiri.

Selain itu, materi kurusus bagaimana mendidik anak agar tetap sehat, cerdas dan berkreatif, serta sosialisasi UU No 10/1974 tentang Perkawinan, UU anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), serta pemahaman fungsi keluarga, seperti fungsi ketahanankeluarga, kesejahteraan, sosial dan ekonomi.

Tulus menegaskan, pemberian kursuspranika juga dimaksudkan mencegah kasus perceraian dalam tahun belakangan ini meningkat akibat belum siapnya calon pengantin berkeluarga, serta mencegah kasus KDRT dan mengurangi jumlah kematian ibu melahirkan, jumlah kematian bayi.

Sementara itu, Sugiri Syarief menyoroti gejala rapuhnya sendi kehidupan perkawinan dan keluarga serta merosotnya peran orangtua dilihat dari kasus perceraian, kenakalan dan penyimpangan perilaku anak dan remaja dari tahun ke tahun yang terus meningkat.

Ia melihat, kasus-kasus perselisihan, KDRT, perceraian, kenakalan remaja, penyimpangan perilaku hingga penularan HIV/AIDS pada pasangan yang menikah, antara lain karena krisis nilai-nilai perkawinan dan liberalisasi keluarga yang kini menjadi ancaman nyata.

"Di sisi lain kearifan lokal yang selama ini membingkai ketahanan keluarga kian surut pengaruhnya di masyarakat dan ditambah pengaruh media yangmenajd kasus figur publik menjad tontonan dan bacaan menarik," ujarnya.

Sugiri mengatakan, pengaruh media yang mengekpos kasus-kasus konflik rumah tangga dan perceraian di kalangan figur publik , disadari atau tidak, membawa dampak negatif di tengah masyarakat, sehingga penguatan lembaga perkawinan merupakan satu keniscayaan dalam pembangunan.(*)

Pewarta: Ricka Oktaviandini
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009