Jakarta (ANTARA News) - Dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto diperiksa selama delapan jam sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang di Mabes Polri, Jakarta, Rabu malam.

Mereka keluar dari gedung Badan Reserse Kriminal Polri Rabu sekitar pukul 19.10 WIB setelah menjalani pemeriksaan sejak pukul 11.00 WIB.

Usai menjalani pemeriksaan, baik Chandra maupun Bibit tidak banyak memberikan keterangan kepada wartawan.

Bibit hanya menyatakan, percabutan cekal kepada sejumlah orang yang diduga terlibat pidana korupsi dilakukan karena KPK tidak menemukan bukti keterlibatan.

Pemeriksaan hari ini merupakan yang pertama kali sebagai tersangka sedangkan dua kali pemeriksaan sebelumnya masih sebagai saksi.

Status mereka berubah menjadi tersangka pada pemeriksaan kedua, Selasa (15/9) yang berakhir menjelang tengah malam.

Kendati telah menjadi tersangka, namun penyidik Polri tidak menahan keduanya dengan alasan mereka bersikap kooperatif selain ancaman hukuman hanya empat tahun penjara.

Direktur Pidana Korupsi dan White Collar Crime (Pidkor dan WWC) Badan Reserse Kriminal Polri, Kombes Pol Yovianes Mahar mengatakan, mereka menjadi tersangka karena mengajukan surat cekal tidak sesuai dengan prosedur.

Mereka pernah mengajukan cekal kepada beberapa orang yang diduga terlibat kasus korupsi Departemen Kehutanan yakni Anggoro Widjoyo, Anggada Widjoyo dan David Widjoyo serta cekal untuk terpidana skandal Bank Bali yakni Djoko Tjandra yang kini buron.

Polisi meyakini telah terjadi tindak pidana karena surat pengajuan cekal dibuat oleh Chandra dan Bibit tanpa sepengetahuan pimpinan lainnya.

"Kepemimpinan KPK itu bersikap kolektif sehingga tidak bisa bertindak sendiri. Ini beda dengan polisi dimana penyidik dapat mengajukan cekal tanpa perlu mendapatkan persetujuan pimpinannya," kata Yovianes.

Polri juga menilai dasar pengajuan cekal juga tidak dijelaskan karena bukan didasarkan atas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Di samping itu, Polri juga menilai penggeledahan di kantor PT Masaro Radiokom, rekanan Dephut tidak memiliki landasan untuk kegiatan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan.

Bahkan, polisi menduga penggeledahan itu berdasarkan kasus korupsi alih fungsi hutan lindung di Sumatra.

Untuk menjerat kedua pimpinan KPK itu, Polri mengaku telah mengantongi sejumlah alat bukti yakni keterangan 16 saksi, surat cekal dan sejumlah petunjuk yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran.

Sedangkan untuk kasus suap dan pemerasan, Polri mengaku belum mendapatkan bukti.

Polri hanya menemukan bukti bahwa seseorang bernama Ari Muladi telah menggelapkan uang milik Anggoro sebesar Rp6,1 miliar.

Uang itu semula hendak dipakai untuk menyuap pimpinan KPK agar mau mencabut cekal.

Namun, tersangka Ari tidak bisa menyebutkan ke mana uang itu dipakai termasuk ke oknum KPK.

"Uang memang ada tapi apa benar ada aliran ke KPK. Itu yang kami sedang telusuri," ujarnya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009