Jakarta (ANTARA News) - "Kalau Deplu dari dulu mengikuti apa yang menjadi hasrat (sebagian masyarakat), bisa saja saat ini Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan seluruh negara tetangga."

Sambil tersenyum, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melontarkan sebaris kalimat itu. Ketenangannya dalam mengurai satu persatu kebijakan luar negeri Indonesia dalam lima tahun mendatang kiranya cukup dapat menggambarkan komitmennya untuk tidak menempatkan emosi bermain di balik setiap keputusan yang keluar dari Pejambon.

Ditemui secara khusus oleh ANTARA di kantornya Kamis (3/12) petang,
Marty mengatakan, para diplomat tidak memiliki kemewahan untuk membiarkan emosi mempengaruhi kebijakan dan cara berpikir.

Sebut saja saat kasus klaim budaya oleh Malaysia, pasir laut dengan Singapura, serta imigran gelap dengan Australia mengemuka, dan publik terbakar emosi akibat merasa kedaulatan dan harga diri bangsa dilecehkan, para diplomat harus tetap berkepala dingin.

Marty sadar jika sekarang dengan perubahan Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi besar di dunia, makin banyak pemangku kepentingan yang memiliki perbedaan pandangan mengenai kebijakan luar negeri Indonesia.

"Justru ketika ada permasalahan, saat itulah diplomat harus bekerja," tegasnya sambil memaparkan upaya yang dilakukan Departemen Luar Negeri untuk terus merangkul publik guna menjadi konstituen yang kritis terhadap perbedaan pandangan dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.

Dan laiknya seorang pemimpin yang menuntut yang terbaik dari para stafnya, pemilik nama lengkap Raden Mohammad Marty Muliana Natalegawa itu juga ingin seluruh diplomat Indonesia terus meningkatkan profesionalisme dan etika sehingga mencerminkan Indonesia yang santun, bersahabat, percaya diri dan penuh keyakinan saat menyampaikan pandangan-pandangan yang menjadi keyakinannya.

Sesuatu yang telah lama dibuktikan pria yang selalu tampak rapi dan perlente itu, termasuk ketika ia dengan lantang menyuarakan sikap Indonesia saat menjadi satu-satunya dari 15 negara anggota DK PBB yang abstain saat badan PBB itu sepakat menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran --resolusi DK No.1803-- dalam masalah sengketa atom.

Meski dibebani dengan citra sebagai perwakilan dari negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, ayah tiga anak itu mampu mengemukakan alasan di balik keputusannya dengan kepala dingin. Sesuatu hal yang tampaknya menjadi syarat mutlak dalam mencapai citanya mengantarkan Indonesia ke tingkat lebih tinggi lagi.

"Kita ingin mengkonsolidasikan transformasi Indonesia dari regional power, kekuatan negara yang memiliki pengaruh di kawasan menjadi negara yang memiliki pengaruh global yang bertanggungjawab," ujarnya dengan kalem.

Dia juga menolak anggapan bahwa Indonesia akan meninggalkan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

Ia tidak mau menggunakan istilah world power untuk merujuk cita-citanya itu karena yang dia inginkan lebih dari sekedar menjadi kekuatan dunia namun suatu negara yang memiliki peran serta kepentingan global yang tidak hanya mempedulikan masalah kawasan.

Untuk mencapai target itulah, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia aktif menggenjot pengaruhnya di forum-forum multilateral, mulai dari PBB, APEC, OKI, hingga yang teranyar G-20.

G-30 adalah kelompok eksklusif yang hanya terdiri dari 20 negara, di mana Indonesia menjadi salah satu anggota tetap, bersanding dengan negara-negara berpengaruh seperti AS, Jepang, China, dan Perancis.

Namun, lanjut Marty, Indonesia tidak bersikap hitam-putih, memburu ambisi menjadi pemain dunia tidak berarti meninggalkan peran pentingnya di kawasan.

Indonesia justru berusaha membangun jembatan yang dapat menghubungkan kedua kepentingan, yaitu menyuarakan kepentingan negara berkembang sekaligus mendorong pemahaman antara kedua belah pihak.

"Kalau kita pikir-pikir salah satu ciri khas Indonesia adalah kemampuan untuk bisa menjembatani berbagai pertikaian, perselisihan, perbedaan antar negara," tutur pria kelahiran Bandung 22 Maret 1963 dengan sebuah garis senyum terbentuk di ujung bibirnya.

Matanya sedikit menerawang saat mengemukakan itu, mungkin penggemar klub sepak bola Inggris Liverpool dan tim bola basket New York Knicks itu mencoba memanggil kembali ingatannya pada sejumlah keberhasilan Indonesia menengahi berbagai perselisihan dunia.

Tapi orang nomor satu di Pejambon itu tidak perlu membuktikan ucapannya karena baru beberapa pekan lalu, Indonesia ramai disebut-sebut sebagai bakal kuat penengah perseteruan antara Kamboja dan Thailand.

Walau begitu, Marty adalah orang yang berpegang pada data dan fakta sekalipun politik luar negeri tidak selalu selamanya terukur.

Ia mempunyai bukti kuat ketika mengklaim Indonesia dapat diterima semua pihak, karena selama menjalani tugasnya sebagai Perwakilan Tetap RI untuk PBB, Marty selalu memonitor negara mana yang membuat rujukan kepada Indonesia, apakah positif atau negatif.

"Sekalipun dua, tiga tahun terakhir tidak satupun negara yang merujuk Indonesia dengan negatif tapi jangan lengah."

Kenapa jangan lengah? Marty yang petang itu mengenakan setelan jas hitam lengkap dengan dasi hitam, sapu tangan, ikat pinggang dan cuff link itu memaparkan satu lagi cita-citanya, yaitu mewujudkan Indonesia dengan "thousands friends zero enemy" (seribu kawan, tak ada musuh).

Ia mengatakan bahwa Indonesia baru memiliki hubungan diplomatik dengan sekitar 119 dari 192 negara. Sekalipun tanpa hubungan diplomatik kerjasama dengan sejumlah negara tersebut tidak menemui kendala namun, menurut mantan Duta Besar RI untuk Inggris Raya itu, alangkah indahnya jika hubungan itu dikemas dalam suatu status yang resmi.

"Kami ingin mencoba berinvestasi perhatian dan komitmen di negara-negara yang belum tergarap dengan maksimal."

Keputusannya untuk mencetuskan kebijakan multiarah tersebut mau tidak mau membuat kebijakan luar negeri Indonesia seakan tanpa prioritas dan tidak berbentuk, sesuatu hal yang langsung dibantah oleh suami dari Sranya Bamrungphong itu.

Menurutnya, justru itulah seni dari berdiplomasi untuk menunjukkan mesin diplomasi Indonesia berjalan dengan baik.

Bukan hal yang ringan apalagi di tengah keputusan pengurangan jumlah diplomat di luar negeri sehingga Deplu mesti menerapkan kebijakan meritokrasi yaitu memberi tanggungjawab lebih kepada orang-orang yang berprestasi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 18.05 WIB ketika pria yang mengawali karir sebagai Staf Badan Litbang Departemen Luar Negeri pada 1986-1990 itu menyinggung komitmen Pemerintah melindungi WNI.

Marty paham jika cita-cita membawa Indonesia ke peran global dengan 1.000 teman, sepintas lalu jauh dari kepentingan yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat Indonesia.

Bagi sebagian besar rakyat Indonesia mungkin tak terlalu berguna Indonesia berhasil menggolkan protokol perubahan iklim pengganti Protokol Kyoto di Pertemuan Kopenhagen mendatang jika masih terdengar kabar seorang TKI dipukul hingga menjemput ajal di Malaysia atau negara manapun.

Oleh karena itu dia menegaskan bahwa perlindungan WNI adalah salah satu prioritas utama Deplu.

Ia berjanji bahwa setiap pejabat Deplu adalah pejabat yang dapat menunjukkan keberpihakan dan perlindungan bagi WNI, tanpa menutup mata bahwa banyak permasalahan di dalam negeri yang harus dibereskan untuk mencegah mimpi buruk TKI terus berulang.

Marty menutup obrolan satu jam itu dengan membumikan harapannya membuktikan bahwa Indonesia dapat diterima seluruh kalangan bukan semata atas nama gengsi atau penghormatan sebagai penyelamat dunia. Sederhana. Sesederhana sikapnya sebagai seorang pejabat publik.

Marty bertutur tentang keperluan untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia karena politik luar negeri adalah benteng terdepan kedaulatan.

"Indonesia adalah negara yang sedang bertransisi dari satu status ke status yang lain. Dan pada akhirnya politik luar negeri itu tidak bisa tidak kecuali harus membawa manfaat yang nyata dalam situasi di dalam negeri."

Apalagi situasi dunia saat ini sangat kompleks. Ruang dan waktu untuk mengambil suatu keputusan menjadi makin pendek seiring dengan globalisasi dan kemajuan sistem komunikasi. Semua terhubung.

"Mungkin di masa lalu kalau ada suatu tantangan masih ada relatif waktu sebelum suatu negara/pemerintahan dituntut untuk mengambil suatu sikap. Sekarang karena semua real time, lingkungan global menjadi sangat majemuk dan kompleks," tuturnya.

Untungnya ketika seluruh negara bagai hanyut dalam derasnya arus globalisasi dan keterbukaan, Marty masih memiliki pegangan dalam menampilkan wajah politik luar negeri Indonesia.

"Melanjutkan komitmen-komitmen yang telah termuat dalam UUD, termasuk politik luar negeri bebas dan aktif," kata pria berkacamata ini. Satu sikap yang tentunya lebih dari sekedar penghormatan pada para bapak bangsa. (*)

Oleh Gusti Nc Aryani
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009