Vientiane (ANTARA News) - Tonny Meringgi dan Ismu Harinto, manajer dan pelatih tim tenis meja Indonesia, menyatakan siap "diadili" sesampai mereka di Tanah Air sebagai bentuk tanggung jawab mereka atas kehancuran prestasi cabang tersebut di SEA Games 2009 Laos.

"Kami siap diadili dan akan berbicara apa adanya mengenai kondisi yang terjadi dalam tim tenis meja Indonesia," kata Tony dan Ismu yang ditemui di Komplek Olahraga Nasional Vientiane, Rabu.

Tim tenis Indonesia mengalami masa paling kelam di ajang SEA Games karena dari tujuh nomor yang diikuti, hanya mampu meraih satu medali perunggu melalui beregu putra.

Beregu putra yang diperkuat pemain senior David Jacob, Yon Mardiyono, serta dua pemain junior Ficky Supit dan Gilang Maulana, terhenti di babak semifinal setelah dikalahkan Thailand 1-3.

Hasil paling menyedihkan dialami kelompok putri karena tidak satu pun yang lolos ke babak empat besar.

Biaya besar yang telah dikeluarkan untuk menggaji pelatih asal China serta biaya untuk latihan sekitar enam bulan di negara raksasa tenis meja itu pun menguap sia-sia.

Hasil tersebut jauh menurun dibandingkan dengan dua tahun lalu di SEA Games 2007 yang meraih satu perak dan tiga perunggu. Hasil tersebut pun sebenarnya dianggap sebagai sebuah kegagalan karena pada SEA Games 2005 Manila, M. Hussein berhasil meraih satu-satunya medali emas melalui nomor paling bergengsi, tunggal putra.

Baik Tony maupun Ismu yang sama-sama mantan petenis meja nasional itu mengakui bahwa hasil SEA Games 2009 Laos merupakan hasil yang paling buruk yang pernah dicapai Indonesia sehingga sudah sepatutnya semua pihak duduk bersama untuk melakukan evaluasi.

"Harus segera diadakan evaluasi dan semua pihak harus duduk bersama untuk mencari jalan keluar. Jangan saling menyalahkan menghadapi situasi seperti ini," kata Tonny.

Menurut Tony, banyak hal yang harus segera dibenahi agar tenis meja Indonesia bisa segera keluar dari kondisi darurat tersebut, di antaranya mengenai keputusan untuk mengirim atlet berlatih di Cina, serta proses pemilihan atlet.

Tanpa menyebut orang yang dimaksud, Tony menegaskan bahwa campur tangan pengurus dalam memilih pemain merupakan salah satu penyebab hancurnya prestasi Indonesia.

"Untuk masalah pemilihan pemain, serahkan kepada pelatih yang lebih tahu kelemahan dan kelebihan atlet. Pengurus tidak perlu ikut campur," katanya.

Sementara itu Ismu Harinto menegaskan bahwa atlet Indonesia sebenarnya tidak perlu latihan jauh-jauh ke Cina atau mendatangkan pelatih asing yang bergaji 10.000 dolar AS (sekitar Rp90-an juta) perbulan.

"Atlet Indonesia tidak membutuhkan pelatih asing, tapi mereka butuh kompetisi dan hanya dengan kompetisi atlet bisa mengasah kemampuan mereka. Tidak hanya kemampuan teknik, tapi juga kondisi mental dalam menghadapi situasi sulit dan pada saat kritis pada pertandingan," kata Ismu yang berbicara lugas.

Ismu juga menyatakan keheranannya dengan sikap pengurus PB PTMSI yang mengamini keputusan pelatih China Liu Gudong yang mencoret program mengikuti kejuaraan Asia di India pada Oktober lalu.

"Padahal kejuaraan tersebut sangat penting, tidak hanya untuk jaga eksistensi Indonesia di kawasan Asia tapi juga untuk ujicoba dan melihat hasil latihan di China," kata Ismu yang sudah perpengalaman mengikuti kompetisi internasional, termasuk Olimpiade 2000 Sydney.

Sementara Tony mempertanyakan apa saja dilakukan oleh atlet saat mereka berlatih selama hampir delapan bulan di China karena keberangkatan mereka tidak didampingi oleh pelatih yang bisa mengawasi program latihan mereka.

PB PTMSI mengirim lima atlet untuk latihan di China, yaitu M. Hussein, Ficky Supit Santoso, Gilang Maulana, Silir Rovani dan Azizah.

"Kami tidak tahu apa saja program latihan mereka disana karena kami memang tidak dikirim kesana untuk mengawasi," kata Tony menambahkan.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009