Jakarta (ANTARA News) - Memasuki penghujung 2009, Iran menghadapi peringatan Amerika Serikat bahwa Desember adalah tenggat sesungguhnya, setelah Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menolak ultimatum internasional mengenai program nuklirnya.

Amerika Serikat dan Prancis berulang-kali mendesak Teheran agar menerima kesepakatan yang disusun oleh pengawas nuklir PBB untuk menukar uranium yang diperkaya dengan bahan bakar nuklir paling lambat akhir 2009, atau menghadapi ancaman sanksi lebih lanjut.

Jurubicara Gedung Putih Robert Gibbs mengatakan sesuatu yang disebut P5+1, anggota tetap pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB --Inggris, China, Prancis, Rusia dan Amerika Serikat-- ditambah Jerman, "berada satu kapal" dalam masalah tenggat tersebut.

"Saya kira masyarakat internasional bersatu dalam masalah ini. Ini bukan sesuatu yang dikatakan presiden (AS saja) ... Ini adalah sesuatu yang telah dikatakan oleh anggota P5+1," kata Gibbs, sebagaimana dikutip AFP.

"Itu sebabnya mengapa kami berada pada posisi kami sekarang, sementara masyarakat internasional menunggu untuk melihat dan telah menanti untuk menyaksikan selama berbulan-bulan apakah Iran akan melaksanakan tanggung jawabnya," kata Gibbs.

Sebelumnya, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad menolak tenggat itu dan menyampaikan pilihan lain guna menentang tekanan Barat atas penolakan Teheran untuk menghentikan pengayaan dan menyetujui pemeriksaan penuh oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), pengawas nuklir PBB.

"Mereka mengatakan kami telah memberi Iran sampai akhir tahun Masehi. Memangnya mereka itu siapa? Kamilah yang telah memberi mereka kesempatan," kata Ahmadinejad dalam pidato di kota Shiraz, Iran selatan, seperti dikutip AFP.

Namun Gibbs berkata, "Ahmadinejad mungkin tak mengakui, karena alasan apa pun, tenggat yang membayang, tapi itu adalah tenggat yang sangat nyata bagi masyarakat internasional ... Di dalam genggamannyalah apa yang diputuskan untuk dilakukan oleh Iran."

Pemerintah Presiden AS Barack Obama menunjukkan bahwa waktu makin tipis bagi Iran untuk meraih tawarannya mengenai keterlibatan diplomatik bagi penyelesaian masalah nuklir dan yang lain.

"Sebagaimana telah berulang-kali kami katakan, presiden telah menekankan bahwa kami dan mitra kami akan menilai reaksi Iran di sini, saat kita mendekati akhir tahun," kata jurubicara Departemen Luar Negeri AS Philip Crowley sebagaimana dilaporkan.

Ia memperingatakan, "Memasuki 2010, seandainya Iran meneruskan sikap saat ini ... akan ada dampak dan konsekuensi bagi kegagalan mereka untuk meraih kesempatan ini."

Amerika Serikat telah mengangkat kemungkinan babak keempat sanksi PBB, tapi negara itu perlu membujuk Rusia dan China agar mencabut keengganan lama mereka untuk mempertimbangkan tindakan yang lebih keras atas Iran.

Iran berkeras program nuklirnya semata-mata bertujuan sipil dan menolak kecurigaan Barat bahwa Teheran secara diam-diam berusaha membuat bom.

Dalam satu wawancara yang disiarkan Ahad (20/12) di Amerika Serikat, Ahmadinejad berkeras Washington telah memalsukan dokumen yang diungkapkan satu pekan sebelumnya yang tampaknya memperlihatkan Iran "sedang mengerjakan satu pemicu bom nuklir".

Perunding utama nuklir Iran Saeed Jalili mengatakan kepada Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama, Senin (21/12), bahwa senjata pemusnah massal bertentangan dengan ajaran Islam dan Iran takkan pernah membuat senjata semacam itu.

"Kami dengan sungguh-sungguh menentang senjata nuklir pemusnah massal," kata Jalili kepada wartawan sebagaimana dilaporkan oleh kantor Hatoyama. Ia menolak sebagai tak berdasar laporan bahwa satu pesawat yang berisi senjata dari Korea Utara yang ditangkap di Thailand akan terbang ke Iran.

Beberapa pejabat Thailand mengatakan mereka menahan pesawat itu atas keterangan AS setelah pesawat tersebut mendarat untuk mengisi bahan bakar di bandar udara Bangkok pada 11 Desember, dengan barang yang meliputi rudal yang diluncurkan melalui bahu dan granat berpeluncur roket.



Pertikaian

Pertikaian mengenai program nuklir Iran terutama berpusat pada kegagalan Iran untuk mengumumkan kegiatan pemrosesan ulang dan pengayaan yang sensitif kepada IAEA.

Pengayaan dapat digunakan untuk menghasilkan uranium buat bahan bakar reaktor pembangkit listrik atau, pada tingkat pengayaan yang lebih tinggi, membuat senjata nuklir.

Iran menyatakan program nuklirnya bertujuan damai dan telah memperkaya uranium hingga kurang dari lima persen, sesuai dengan bahan bakar buat pembangkit listrik tenaga nuklir.

Iran juga menyatakan negara tersebut dipaksa merahasiakan kegiatannya setelah tekanan AS mengakibatkan beberapa kontrak nuklirnya dengan pemerintah asing gagal diwujudkan.

Setelah Dewan Gubernur IAEA melaporkan ketidak-patuhan Iran pada kesepakatan keamanannya ke Dewan Keamanan PBB, Dewan tersebut menuntut Iran menghentikan kegiatan pengayaan uraniumnya.

Sementara itu, Ahmadinejad menyatakan semua sanksi itu tidak sah, dijatuhkan oleh negara congkak, dan Iran telah memutuskan untuk melanjutkan pemantauan program nuklir yang dinyatakan secara sepihak sebagai bertujuan damai, melalui jaluh hukumnya yang layak, Badan Tenaga Atom Internasional.

Program nuklir Iran diluncurkan pada 1950-an, dengan bantuan Amerika Serikat sebagai bagian dati Atom bagi Program Perdamaian.

Dukungan, dorongan dan keterlibatan Amerika Serikat serta pemerintah Eropa Barat di dalam program nuklir Iran berlanjut sampai Revolusi Islam 1979, yang menggulingkan Shah Iran.

Program kerja sama nuklir sipil dibuat di bawah pengawasan lembaga Atom AS bagi Program Perdamaian. Pusat Penelitian Nuklir Teheran (TNRC) didirikan dan dikelola oleh Organisasi Energi Atom Iran (AEOI).

TNRC dilengkapi dengan reaktor penelitian nuklir 5-megawatt yang dipasok AS, yang beroperasi pada 1967 dan mendapat bahan bakar dari uranium yang sangat diperkaya.

Iran menandatangani Kesepakatan Anti-Penyebaran Nuklir (NPT) pada 1968 dan mensahkannya pada 1970, sehingga menjadikan program nuklir Iran tunduk pada pengesahan Badan Tenaga Atom Internasional.

Setelah Revolusi Islam Iran pada 1979, pemerintah Iran sempat membubarkan anasir program itu, dan kemudian menghidupkannya dengan sedikit bantuan Barat.

Program nuklir Iran telah meliputi beberapa tempat penelitian, tambang uranium, reaktor nuklir, dan instalasi pemrosesan uranium yang meliputi tiga instalasi yang diketahui melakukan pengayaan uranium.

Pembangkit listrik pertama tenaga nuklir Iran, Bushehr I, direncanakan beroperasi pada 2009. Saat ini tak ada rencana untuk menyelesaikan reaktor Bushehr II, kendati pembuatan 19 pembangkit listrik tenaga nuklir dirancang.

IAEA melaporkan bahwa Iran "memiliki cukup informasi untuk dapat merancang dan membuat alat nuklir yang dapat meledak (bom atom) berdasarkan HEU (uranium yang sangat diperkaya) sebagai pemecahan bahan bakar" dan juga melaporkan Iran telah menimbun cukup banyak uranium untuk membuat HEU dalam jumlah yang cukup buat minimal satu bom nuklir.

Setelah tuduhan terbuka mengenai kegiatan nuklir yang sebelumnya tak diumumkan Iran, IAEA melakukan penyelidikan yang berakhir pada November 2003 bahwa Iran secara sistematis telah gagal memenuhi kewajibannya berdasarkan kesepakatan keamanan NPT untuk melaporkan semua kegiatan itu kepada IAEA, meskipun melaporkan tak ada bukti berkaitan dengan program senjata nuklir.

Program senjata nuklir Iran tersebut dipandang sebagai ancaman bagi Amerika dan kepentingan Amerika, karena senjata nuklir di tangan Iran dianggap akan memiliki dampak serius bagi keamanan Amerika dan keamanan sekutunya.

Iran dipandang sudah memiliki senjata konvensional yang mampu menyerang tentara AS dan sekutu yang ditempatkan di Timur Tengah dan sebagian Eropa. Kalau Teheran diperkenankan memiliki senjata nuklir, "ancaman itu akan meningkat secara dramatis". (*)

Pewarta: Chaidar Abdullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009