Jakarta (ANTARA News) - Pakar politik internasional dan staf dosen hubungan internasional Universitas Parahiyangan, Dr Andreas H. Pareira, menyatakan, kepemilikan RI atas 92 pulau terluar belum sepenuhnya aman.

Ia mengatakan itu kepada ANTARA News di Jakarta, Sabtu, sehubungan dengan pernyataan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang menyatakan 92 pulau terluar dalam posisi aman dari klaim pihak asing, karena kepemilikan RI dijamin hukum internasional.

"Pernyataan Kemlu aman dari klaim pihak asing berdasarkan hukum internasional tersebut baru merupakan jaminan tahap pertama, dan belum sepenuhnya aman," ucap mantan Anggota Komisi I DPR RI ini menegaskan.

Karena, menurut dia, berdasarkan pengalaman selama ini, bisa terjadi perbedaan tafsir terhadap hukum internasional oleh negara lain di kemudian hari.

"Hal inilah yang kemudian bisa tetap berakibat adanya klaim tumpang tindih. Makanya, kita jangan terlena hanya dengan mendasarkan adanya jaminan dari hukum internasional, tetapi para diplomat dan ahli hukum internasional kita harus agresif memperjuangkannya," ujarnya.

Pengamanan Permanen
Untuk kepentingan keutuhan wilayah kedaulatan RI ke depan, Andreas Pareira lalu mengemukakan suatu konsep pengamanan permanen."Pertama, Pemerintah RI perlu melakukan perjanjian atau penyelesaian perjanjian dengan semua negara yang berbatasan dengan kita," ujarnya.

Kedua, membuat perundangan terhadap batas wilayah negara tersebut, termasuk pulau-pulau terdepan (bukan terluar) tersebut.

Lalu ketiga, lanjutnya, apabila negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia menunda-nunda (pelaksanaan perjanjian perbatasan), Pemerintah Indonesia perlu melakukan klaim sepihak.

"Itu yang saya katakan tadi melalui pengundangan, sambil melakukan pembahasan dengan negara tetangga dimaksud," ujarnya.

Kemudian yang keempat, pengundangan itu penting untuk dokumentasi melalui lembaran negara, sehingga ke depan bila terjadi klaim pihak lain, Indonesia mempunyai bukti untuk mengawal wilayah tersebut.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010