Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha) mendesak Pemprov DKI Jakarta untuk menghentikan pelayanan kedua operator PAM karena dinilai merugikan.

"Berdasarkan data dari Badan Regulator PAM DKI, banyak target layanan yang tertuang di kontrak kerja sama yang tidak berhasil dipenuhi seperti volume air dijual, angka kebocoran dan cakupan pelayanan," kata Ketua Kruha Hamong Santoso di Jakarta, Kamis.

Sejak 1997, PAM Jaya bermitra dengan dua operator asing yaitu PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) dengan harapan peningkatan pelayanan.

Namun kenaikan "water charge" atau harga air yang dibeli PAM Jaya dari kedua operator tersebut tidak diimbangi dengan kenaikan jumlah pelanggan yang signifikan sehingga PAM Jaya terus mengalami "shortfall" (penurunan target penerimaan) hingga mencapai Rp123 miliar pertahun.

"Anehnya, meski berbagai target teknis dan layanan itu luput dari sasaran, namun kedua perusahaan swasta itu berhasil memperoleh dan bahkan terus meningkatkan laba dari tahun ke tahun," kata Hamong.

Saat ini, PAM Jaya mengklaim cakupan pelayanan mereka sudah mencapai 60 persen penduduk Jakarta, namun Badan Regulator PAM meragukan klaim tersebut.

"Hasil perhitungan kami cuma sekitar 50 persen," kata Anggota BR PAM Riant Nugroho.

Riant juga menyebut kedua operator dapat memenuhi target "rebasing" (kontra kerjasama per lima tahun) hanya karena target tersebut diturunkan.

BR PAM mendorong agar Pemprov DKI menyiapkan alternatif lain untuk penyediaan air Jakarta, termasuk dengan kemungkinan menggunakan teknologi baru seperti "reverse osmosis" yakni dengan menyuling air laut menjadi air tawar.

Teknik tersebut dipraktekkan secara luas di beberapa negara Arab dan beberapa negara lainnya, terutama yang memiliki bahan baku melimpah karena merupakan negara kepulauan.

Teknologi tersebut relatif lebih murah jika diterapkan secara ekstensif namun saat ini baru beberapa perusahaan besar yang menggunakan sistem tersebut seperti PT Pelindo, Mall of Indonesia Kelapa Gading dan yang sedang mengajukan izin adalah PT Jaya Ancol.

Ketua dari Unit Riset Internasional Pelayanan Publik (PSIRU) Universitas Greenwich, Inggris, David Hall menilai seharusnya Pemprov DKI bisa mengambil tindakan ekstrem untuk memutuskan kontrak dengan kedua mitra swasta tersebut meskipun nilai pemutusan kontrak tersebut tidak sedikit.

Uang kompensasi pemutusan kontrak dengan kedua operator adalah berkisar antara Rp5-6 triliun.

Sebagai alternatif, David mengusulkan mekanisme kerjasama antara pemerintah kota dengan pemerintah kota lainnya atau "public to public partnership" daripada sistem saat ini "public to private partnership".

"Tapi Pemerintah sebelumnya harus mengatur sebuah audit independen mengenai dampak teknis, keuangan, sosial, ekonomi, lingkungan, dan akuntabilitas konsesi," katanya.

Audit tersebut adalah untuk menilai seberapa besar nilai sebenarnya dari konsesi air Jakarta, termasuk harga dari menerima pelayanan yang buruk.

"Penilaian ini penting untuk menilai klaim potensial kota atau tanggung jawab hukum dalam negosiasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut," katanya.

Penilaian itu kemudian dapat digunakan sebagai argumentasi untuk pemutusan kontrak dan kemungkinan pembayaran uang pemutusan kontrak yang besar itu.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010