Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah tokoh Forum Lintas Agama optimistis bahwa sikap pluralis yang selama ini diusung almarhum Gus Dur akan terus ada dan berkembang di Indonesia.

Pernyataan tersebut dinyatakan beberapa tokoh agama dalam peluncuran dan diskusi buku "Sejuta Doa untuk Gus Dur" karya Damien Dematra di Pura Adhitya Jaya, Rawamangun, Jakarta, Senin.

"Gus Dur mengajarkan dalam melihat hubungan antara agama dan negara," jelas anggota Konferensi Wali Gereja Indonesia Romo Ismartono.

Gus Dur, katanya, tidak menyamakan negara dengan agama, karena urusan duniawi tidak bisa disamakan dengan urusan manusia dan Tuhan.

"Tidak memisahkan, karena jika negara tidak dijalankan oleh orang-orang yang tidak bertuhan akan kacau. Tetapi, Gus Dur membedakan antara hubungan agama dengan negara, karena dalam membedakan, tidak merendahkan agama kita dalam negara. Berbeda agama tapi ada persatuan dalam negara," ujar Romo Ismartono.

Pemahaman Gus Dur tentang kehidupan beragama umat manusia menjadikan Gus Dur di mata para tokoh Lintas Agama merupakan salah satu tokoh pluralis Indonesia.

Gus Dur, dinilai tetap teguh memegang dan menjalankan keyakinannya, namun bisa menerima, bahkan memperjuangkan perbedaan yang ada dalam kehidupan umat manusia dalam hal agama, budaya, dan gender.

Romo Muji Sutrisno mengatakan, batas perbedaan agama dalam berhubungan dengan Gus Dur tidak ada, padahal ia adalah kiai dan pemuka agama Islam.

"Gus Dur membedakan `agama bumi` dan `agama langit`. `Agama langit` itu Wahyu, sedangkan `agama bumi` hanya formalisasi hukum," jelas Romo Muji.

Menurut dia, kebanyakan orang hanya beragama, tetapi tidak berkeyakinan. "Tetapi Gus Dur tidak demikian, Gus Dur beragama secara konsisten, jujur, dan manusiawi," tambah Romo Muji.

Hal ini dibenarkan oleh Bondan Gunawan, sahabat Gus Dur yang juga hadir dalam peluncuran buku Damien Dematra, novelis yang juga telah mendapatkan penghargaan internasional di bidang fotografi.

"Gus Dur itu seorang spiritual, pemeluk agama yang sudah mencapai kematangaanya. Ia dapat mengajak semua orang dekat, bersatu, walaupun memiliki perbedaan agama," kata mantan Sekretaris Negara itu.

Diakui Bondan, perbedaan agama harus dilihat sebagai rahmat. Terlebih lagi perbedaan yang ada di Indonesia, itu merupakan pemberian atau hadiah dari Tuhan kepada bangsa ini.

"Indonesia harusnya tahu kalau pluralisme di sini itu mutlak. Indonesia tidak bisa dipecah-pecahkan berdasarkan agama. Indonesia tanpa Aceh, ya bukan Indonesia," jelas Bondan.

Semangat pluralisme Gus Dur, lanjut dia, harus diteruskan dengan semangat mengentaskan perbedaan berdasarkan agama, karena Gus Dur tidak pernah membawa agama ke dalam tatanan kehidupan sosial.

Hal ini terbukti dengan sikap Gus Dur dalam memperjuangkan kaum minoritas, Kong Hu Cu.

"Gus Dur sudah kami anggap sebagai Toa Pe Kong," ujar Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu, Budi Santosa Tanuwibowo.

"Gus Dur memperjuangkan agama Kong Hu Cu dengan berani maju membela dua pasangan Tionghoa di Surabaya yang mau menikah," kenang Budi.

Dalam mengenang jasa-jasa Gus Dur, latanya, umat Tionghoa akan menampilkan puisi khusus untuk Gus Dur pada perayaan Imlek 2561.

"Puisi ini akan dibawakan pada Imlek Nasional yang akan diadakan di Jakarta Convention Center, pada 20 Februari 2010 nanti," katanya. (M-FAI/A041/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010