Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan pejabat berinisial NHW dan IC yang diduga menerima gratifikasi saat menjabat di Departemen Luar Negeri pada 2008 dan 2009 (kini Kementerian Luar Negeri/Kemlu).

Koordinator Divisi Investigasi ICW, Agus Sunaryanto di gedung KPK, Jakarta, Selasa, mengatakan, penerimaan gratifikasi itu diduga terkait dengan dugaan korupsi pembayaran tiket perjalanan dinas di kementerian tersebut.

"Secara spesifik, dokumen yang kami dapat menjelaskan adanya dugaan gratifikasi yang diterima oleh pejabat Deplu berinisial NHW sebesar Rp1 miliar pada 2009 dan IC sebesar Rp2,35 miliar pada 2008," kata Agus Sunaryanto.

Agus menjelaskan, pasal 12 c ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, penerima gratifikasi wajib melapor ke KPK. Laporan itu harus disampaikan paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi itu diterima.

Agus menolak menyebut identitas pejabat yang dilaporkan itu secara lengkap. Dia juga menolak memperlihatkan dokumen yang disampaikan ke KPK.

Namun, dokumen bermaterai yang beredar di kalangan wartawan menggambarkan kronologi aliran dana kepada dua pejabat di Kementerian Luar Negeri tersebut.

Dokumen bermaterai tertanggal 3 Februari 2010 itu menyatakan, ada permintaan uang sebesar Rp1 miliar dari petinggi Biro Keuangan Kemlu berinisial AWW. Permintaan itu terjadi sekitar Agustus 2009.

Dokumen itu juga menjelaskan, uang itu digunakan untuk pembelian rumah petinggi Deplu, NHW.

Uang itu diambil oleh seorang suruhan AWW berinisial AS. "dibawa memakai dus Aqua," demikian dokumen itu menjelaskan cara penyerahan uang.

Kemudian, pada Januari 2008, kembali terjadi penyerahan uang sebesar Rp1,2 miliar kepada AWW. Uang itu kemudian disetorkan kepada petinggi Kemlu berinisial IC.

Dokumen tersebut menyebutkan, uang diambil oleh AS menggunakan dua amplop besar.

Aliran terakhir terjadi pada Desember 2008. Saat itu, AWW kembali menerima Rp1,15 miliar yang kemudian disetorkan kepada IC dengan menggunakan dua amplop besar.

ICW mendesak KPK segera mengambil langkah terkait laporan yang mereka sampaikan.

"Kita minta KPK segera memeriksa pejabat yang diduga menerima dana tersebut," kata Agus Sunaryanto.

Menurut dia, KPK akan meneliti laporan yang disampaikan. Kemudian, laporan itu akan diteruskan kepada Direktorat Gratifikasi KPK.

Pada saat yang sama, ICW juga kembali meminta KPK untuk mengusut dugaan korupsi dalam pembayaran tiket perjalanan para pejabat Kemlu.

ICW mendasarkan pada laporan bernomor 49/PW/II/2010/R tertanggal 4 Februari 2010 yang disusun oleh Inspektorat Jenderal Kemlu dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung.

Surat yang ditandatangani oleh Irjen Kemlu, Dienne H. Moeharjo itu pada intinya membenarkan telah terjadi pelanggaran pembayaran harga tiket perjalanan dinas pejabat Kemlu hingga mencapai sekira dua ratus ribu dolar AS.

Menurut Agus, ada indikasi untuk tidak melanjutkan kasus itu ke ranah pidana dengan alasan potensi kerugian negara telah dikembalikan dan pegawai yang diduga melanggar telah ditindak.

Agus menjelaskan, pengembalian uang dan hukuman administratif tidak bisa menghapus tindak pidana. Hal itu termuat dalam Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Pasal 5 peraturan tersebut menyatakan, "Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin oleh pejabat yang berwenang menghukum."

Untuk itu, ICW meminta KPK untuk mengusut dugaan tindak pidana dalam kasus itu.

Sebelumnya, ICW melaporkan dugaan korupsi biaya perjalanan pejabat Kemlu dengan potensi kerugian negara sebesar Rp6,05 miliar.

Kasus itu terkait dengan penggelembungan harga tiket perjalanan dinas para diplomat atau pejabat beserta keluarga pada 2009.

Data ICW menyebutkan, sedikitnya ada tujuh perusahaan yang ditunjuk sebagai rekanan untuk keperluan perjalanan dinas para pejabat itu. Namun, perhitungan kerugian negara selama 2009 didapat dari data kerjasama Kementerian Luar Negeri dengan empat rekanan.

Penggelembungan biaya perjalanan itu dilakukan ketika para pejabat mengklaim biaya tersebut.

Salah satu cara penggelembungan adalah dengan menggunakan "invoice" kosong yang diberikan oleh pihak rekanan. Dengan demikian, para pejabat bisa dengan leluasa menentukan harga tiket.
(F008/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010