Jakarta (ANTARA News) - Warga Nahdlatul Ulama (NU) yang menggeluti sektor usaha kecil menengah (UKM) di sentra-sentra industri di Tulungagung, Blitar, Cirebon, dan Tasikmalaya banyak yang tutup sejak pemberlakuan perdagangan bebas Asean-China (CAFTA).

Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, di Jakarta, Selasa, mengaku mendapat laporan bahwa mereka terpaksa menutup usahanya karena tidak kuat bersaing dengan produk China yang berharga lebih murah dan berkualitas lebih bagus daripada produk lokal.

"Orang NU umumnya orang kecil atau di bawah kecil. Ekspor-impor dan produksi sangat memengaruhi kehidupan mereka," katanya dalam diskusi bertajuk "Perdagangan Bebas ASEAN-China" yang diselenggarakan Lembaga Perekonomian NU.

Oleh karena itu, Hasyim meminta agar pemerintah lebih memberikan perhatian kepada rakyat kecil, termasuk petani.

Menteri Perdagangan, Marie Elka Pangestu, dalam kesempatan itu mengatakan, perdagangan bebas di satu sisi memberi peluang, tetapi di sisi lain terdapat tantangan yang harus dihadapi.

Namun untuk sektor strategis, khususnya pertanian yang meliputi beras, jagung, gula, dan kedelai, akan tetap dilindungi oleh pemerintah.

"Perlindungan yang kita berikan sangat ketat karena 60 persen penduduk kita masih bekerja di sektor agraria. Kita melindungi dengan at all cost," tandasnya.

Untuk menghadapi persaingan dengan China, lanjutnya, Indonesia harus memproduksi komoditas yang tidak bisa diproduksi oleh China, misalnya minyak sawit mentah (CPO), sebab jika berhadapan langsung dengan produk yang bisa dibuat di China dengan kualitas yang lebih bagus dan harga lebih murah tentu akan kalah.

Dikatakannya, beberapa strategi yang dilakukan pemerintah dalam proses globalisasi ekonomi adalah dengan melakukan penguatan daya saing global, pengamanan pasar domestik salah satunya dengan kampanye "Aku Cinta Produk Indonesia", dan peningkatan ekspor.

"Kalau hanya pemerintah yang melakukan tidak akan bisa berkesinambungan. Kita membutuhkan dukungan NU dalam mendorong cinta produk dalam negeri ini," katanya.

Ekonom dari ECONIT, Hendri Saparini, menegaskan Indonesia menghadapi situasi yang sangat berat dengan perdagangan bebas ini. Apalagi dengan adanya program percepatan impor, sehingga berbagai produk pertanian murah dari China seperti jeruk dan apel membanjiri Indonesia.

"Ini bukan persoalan siap tidak siap, mau tidak mau. Negara lain bisa menyiasati ini. China juga anggota WTO, tetapi bisa memilih mana yang didahulukan, mana yang menunggu kesiapan rakyat," katanya.

China juga tidak memperkuat mata uangnya untuk memperkuat daya saing globalnya, meski ditekan oleh berbagai negara sehingga produknya bisa dijual murah di berbagai negara karena nilai tukarnya rendah.

Menurut Hendri, Indonesia belum memiliki kebijakan strategis yang komprehensif yang mengatur semua hal itu.

RUU Pengembangan Industri sampai saat ini belum disahkan, RUU Perdagangan sampai sekian tahun juga belum selesai, sehingga Indonesia tidak memiliki referensi ketika melakukan negosiasi dengan negara lain.

Dijelaskannya, produk Jepang dan China sangat kompetitif karena mengoptimalkan pasar dalam negeri yang dilindungi dahulu ketika belum mampu bersaing secara global, setelah itu baru masuk ke perdagangan bebas. "Bukan dibalik, dibuka pasar bebasnya baru diminta melakukan efisiensi," katanya.

Menurutnya, kemiskinan yang terjadi di Indonesia akan membuat mereka membeli produk murah dari China tanpa memperhatikan risiko yang akan dihadapi. karena itu perlu dihadapi dengan hambatan non tarif seperti NSI, penjelasan produk berbahaya dan lainnya.

(S024/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010