Jakarta (ANTARA News) - Kekalahan kubu pendukung pemerintah dalam pemungutan suara (voting) pada rapat paripurna DPR, Rabu (3/3) malam, menunjukkan adanya kesalahan strategi yang dilakukan Partai Demokrat.

"Ada kesalahan strategi yang dilakukan kubu Partai Demokrat karena mereka terlalu berupaya mengekspose politik `menekan` dengan membuka aib lawan-lawan politiknya," kata pengamat politik yang juga peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, tekanan-tekanan yang dimunculkan seperti membuka kasus pengemplang pajak serta kasus letter of credit (L/C) yang diduga fiktif, justru membuat solid kelompok-kelompok di tubuh Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tadinya terpecah.

Seharusnya, katanya, Demokrat menggunakan cara-cara yang "lunak" yang dapat menarik simpati kelompok-kelompok di Golkar dan PKS agar mau mendukung kebijakan menyangkut pengucuran dana talangan (bailout) senilai Rp6,7 triliun kepada Bank Century.

Namun, Burhanuddin mengakui, "jam terbang" kader-kader Partai Demokrat dalam melakukan komunikasi dan lobi-lobi politik masih kalah dibanding dengan kader dan tokoh Golkar atau PKS.

"Elite Partai Demokrat kan banyak wajah baru yang masih lugu dalam dunia politik. Ini berbeda dengan elite di Golkar dan PKS yang sudah `lihai` melakukan manuver politik," katanya.

Selain itu, katanya, kekalahan kubu Demokrat dalam voting kasus Century itu antara lain juga disebabkan karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlambat mengeluarkan pernyataan yang tegas soal kasus Bank Century.

Pada Senin (1/3) atau sehari menjelang rapat paripurna DPR, katanya, Presiden Yudhoyono baru mengeluarkan pernyataan bahwa upaya pemerintah untuk memberikan dana talangan terhadap Bank Century adalah kebijakan yang benar untuk menyelamatkan perekonomian dan perbankan dari krisis keuangan dunia saat itu dan siap bertanggungjawab atas kebijakan untuk memberikan "bailout" terhadap Bank Century.

"Pernyataan itu terlambat untuk mengerem Golkar dan PKS yang sudah `garang` sejak Panitia Angket terbentuk. Pernyataan presiden itu menjadi sulit untuk mengubah pikiran Golkar dan PKS yang sudah terlanjur keras," katanya

Karena itu, kata Burhanuddin, terlepas dari kekalahan itu telah menujukkan adanya perubahan konstelasi politik di parlemen.

"SBY dan Demokrat tidak bisa lagi percaya diri berlebihan, karena sekarang hanya didukung kurang dari 40 persen di parlemen. Itu riskan untuk mengamankan kebijakan pemerintah," tegasnya.

Dalam voting pada rapat paripurna DPR, Rabu (3/3) malam, tiga fraksi yang partainya menjadi anggota koalisi pemerintah yakni Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mengambil langkah berbeda dengan partai anggota koalisi lainnya yakni Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dukungan yang diberikan Partai Golkar, PKS, dan PPP menyebabkan rapat paripurna DPR memutuskan opsi C yakni menyatakan kebijakan pengucuran dana talangan (bailout) senilai Rp6,7 triliun kepada Bank Century, termasuk proses merger, dan akuisisi atas bank tersebut bermasalah dan terindikasi ada pelanggaran hukum.

Dalam voting itu, sebanyak 325 anggota DPR menyatakan setuju opsi C dan 212 anggota DPR memilih opsi A yang menyatakan bahwa bailout Bank Century tidak bermasalah.(A041/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010