Jakarta (ANTARA News) - Amandemen Undang Undang Dasar 1945 harus dikaji ulang karena telah berdampak pada kekacauan di bidang tata negara dan melahirkan produk turunan berupa undang-undang yang eksesif.

Demikian dikemukakan Ketua Umum Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Jusuf Rizal, Ketua Umum Iluni Jakarta Ekki Agustyoso, Ketua PKB Kalibata Hermawi F Taslim, dan Ketua Tim Multi Partai untuk Pengembalian Aset Negara Bagus Satriyanto di Jakarta, Kamis.

"Amandemen UUD 1945 harus dikritisi karena kebablasan, produk turunannya justru kontraproduktif bagi bangsa ini, baik di bidang ekonomi maupun politik," katanya.

Hal senada dikemukakan Hermawi. Ketua Forum Komunikasi Alumni PMKRI itu menyatakan ketidakjelasan sistem pemerintahan saat ini, presidensial namun berbau parlementer, adalah akibat amandemen UUD 1945 yang dinilainya parsial.

"Di bidang ekonomi lebih parah lagi. Misalnya, undang-undang investasi kita jauh lebih liberal dibanding Amerika Serikat sekalipun," katanya.

Sementara itu Ekki Agustyoso menyatakan, pihaknya sangat memahami bahwa wacana untuk mengkaji ulang amandemen UUD 1945 tidaklah populer, namun keberadaan konstitusi yang terlalu bernafaskan neoliberalisme tidak boleh didiamkan.

"Sebagai insan akademis kami lebih memilih kebenaran daripada popularitas semata," katanya.

Menurut mereka, biang keladi dari pelaksanaan amandemen adalah pencabutan Ketetapan MPR tentang Referendum Tahun 1983 oleh MPR pada 1998, sehingga perubahan UUD tidak memerlukan lagi persetujuan seluruh rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan.

"Sejak pencabutan TAP MPR inilah sesungguhnya reformasi 98 telah berbalik arah menjadi deformasi 98," kata Ekki.

Jusuf Rizal menambahkan, pihaknya kini sedang mengkaji kemungkinan tindakan pencabutan Ketetapan MPR tentang Referendum itu bisa dianggap sebagai sebuah kejahatan politik.

Dalam kesempatan itu mereka juga mengumumkan berdirinya Forum Renovasi Indonesia yang salah satu butir manifestonya adalah mengembalikan jiwa dan semangat UUD 1945.(S024/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010