Jakarta 19/3 (ANTARA) - Di balik penundaaan kunjungannya ke Indonesia, ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari situ, yaitu perkawinan politik citra dan menjaga komitmen yang diperlihatkan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama.

Citra, karena Obama berusaha memberi pesan kepada rakyat dan elitenya, bahwa dia peduli dengan masalah domestiknya, ketimbang terus melanjutkan melawat ke Guam, Indonesia, dan Australia, yang agendanya pun disebut sebagian kalangan di AS, termasuk mantan petinggi Dewan Keamanan Nasional (NSC) Mike Green, tidak begitu jelas.

Bahkan, mengutip Washington Post (18/3), sejumlah anggota Demokrat di Kongres mengkhawatirkan bahwa Obama keliru melangkah jika tetap meneruskan kunjungan luar negerinya. Mereka khawatir kubu Republik mempolitisasi keberadaan Obama di luar negeri, ketika para wakil rakyat berjuang meloloskan RUU Kesehatan.

"Waktunya tidak tepat. Atmosfer yang tercipta dari kunjungan ke luar negeri ketika kita tengah berjuang meloloskan RUU kesehatan, adalah salah. Jika saya ditanya, saya akan bilang padanya untuk menunda kunjungan itu," kata Gerald E. Connoly, anggota DPR dari Demokrat-Virginia.

Faktanya, reformasi jaminan kesehatan adalah prioritas utama yang bahkan menjadi jualan utama Obama selama kampanye Pilpres dua tahun lalu.

"Reformasi jaminan kesehatan adalah kepentingan yang utama, dan Presiden ingin memutuskan mengikuti langsung pertarungan ini (legislasi RUU Kesehatan). Presiden yakin saat ini dia harus di Washington," kata Juru Bicara Gedung Putih Robert Gibbs, Jumat dini hari tadi.

Jadi masuk akal jika Obama memutuskan tetap di AS karena akan buruk citranya jika pada saat-saat penting malah berada di luar negeri. Dia tak mau bermain-main dengan janjinya, meski proses legislasi begitu melelahkan. Tapi rakyat Amerika memaklumi kelambanan itu karena itulah konsekuensi berdemokrasi.

Lain dari itu, Obama tampaknya ingin mengatakan bahwa dia harus memenuhi janji kampanyenya, apapun risiko dan kendalanya.

Dan halangan itu adalah lobi para raksasa asuransi yang tentakel pengaruhnya mencapai Capitol Hill (Kongres) dan Gedung Putih. Sutradara Michael Moore melukiskan pengaruh kuat kelompok ini terhadap sistem kebijakan AS dalam film dokumenter "Sicko".

Hillary Clinton, sewaktu menjadi Ibu Negara untuk Presiden Bill Clinton, pernah berusaha mengoreksi jaminan kesehatan, tapi dipadamkan oleh lobi canggih industri asuransi AS.

Kini giliran Obama yang mati-matian mereformasi sistem kesehatan, tapi bukan berarti argumentasi kubu Republik salah dan melulu karena lobi perusahaan asuransi.

Republik sendiri menyebut legislasi ini akan membuat APBN membumbung dan membahayakan perekonomian nasional. Dan memang, mengutip Centers for Medicare and Medicaid Services, RUU ini akan menghisap 21,3 persen PDB AS, padahal tahun sebelumnya 20,8 persen.

Bergeming

Obama bergeming dengan keyakinannya bahwa asuransi kesehatan harus menguntungkan seluruh rakyat. Lagi pula dia sudah berjanji kepada puluhan juta konstituennya bahwa dia akan mereformasi sektor itu.

Dia bertahan karena ingin menjamin kehidupan layak bagi warganegara yang terpinggirkan oleh sistem yang sering menguntungkan sektor bisnis.

"Apa yang tidak kita dengar adalah suara jutaan orang Amerika yang berjuang keras setiap hari di bawah satu sistem yang acap lebih menguntungkan perusahaan-perusahaan asuransi kesehatan daripada apa yang mereka berikan kepada jutaan orang itu," tulis Obama di New York Times edisi 16 Agustus 2009.

"Orang-orang itu seperti Lori Hitchcock yang saya temui di New Hampshire pekan lalu," kata Obama. Lori yang berwiraswasta menderita Hepatitis C, namun karena penyakitnya tak dilindungi asuransi, dia gagal mendapat perusahaan asuransi yang mau menjamin pengobatan penyakitnya.

Obama juga mengisahkan seorang wanita yang penyakitnya tak dijamin perusahaan asuransi karena penyakit itu terjadi sebelum adanya akad asuransi, dan pria yang meninggal karena perusahaan asuransi tak mau menanggung biaya operasi untuk penyakitnya yang tidak masuk jaminan asuransi.

"Saya dengar cerita-cerita seperti ini setiap hari, dan itulah mengapa kita mesti bertindak cepat mengesahkan rancangan reformasi asuransi kesehatan tahun ini. Saya tidak perlu menerangkan kepada 46 juta orang Amerika yang tak berasuransi kesehatan tentang pentingnya RUU," kata Obama.

Pembelaan Obama kepada kaum marjinal ini disampaikan dengan bahasa yang terang, lantang dan berani. Disebut berani karena Obama melawan raksasa-raksasa asuransi yang dituduh terlalu menghisap masyarakat penggunanya.

"Ini bukan soal pemerintah mengambil peran dalam jaminan kesehatan Anda. Saya tak yakin siapapun boleh mencampuri keputusan-keputusan jaminan kesehatan Anda, kecuali Anda dan dokter Anda, bukan pemerintah, bukan pula perusahaan asuransi," tandas Obama.

Yang unik lainnya adalah sikap Obama yang jelas kesal dengan berlarut-larutnya proses legislasi, tapi tidak mencercanya sebagai menyianyiakan waktu, hanya untuk memaksakan finalisasi proses legislasi.

"Perdebatan panjang dan alot dalam soal perlindungan kesehatan selama beberapa bulan terakhir adalah hal yang baik. Inilah Amerika," kata Obama.

Biasa saja

Jadi jelas, apapun kondisinya, penangguhan kunjungan Obama memesankan bahwa pemimpin dunia manapun senantiasa menempatkan kepentingan nasional di atas segalanya.

Manakala tahun lalu Obama berpidato di Ankara dan Kairo mengenai rekonsialisi AS dengan dunia muslim, itu bukan hanya membawa amanat dunia, tetapi juga dalam rangka mempresentasikan kepentingan nasional Amerika, yaitu memulihkan citra baik AS sehingga manuver AS di dunia bisa diterima masyarakat dunia tanpa terlalu dicurigai.

Dari sisi Indonesia, penundaan kunjungan ke Indonesia semestinya membangkitkan bangsa ini untuk kritis bertanya, seberapa pentingkah Indonesia bagi AS.

Ingat, saat Obama berpesan pada dunia muslim tahun lalu, bukan Indonesia yang dipilih, tetapi Turki dan Mesir. Pun ketika menghadiri KTT APEC di Singapura yang hanya dua jam dari Jakarta, Obama tak memasukkan Indonesia di daftar persinggahannya.

Padahal Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, satu-satunya Asia Tenggara yang masuk kumpulan elite G-20, negara muslim yang selalu dipuji Barat karena toleransi dan kemoderatannya, salah satu mitra muslim terpercaya AS, bahkan kini menjadi salah satu negara tersukses memerangi terorisme tanpa harus represif.

Lebih dari itu, pembatalan kunjungan Obama membeli pelajaran untuk berpikir kritis bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari kepentingan nasional.

Negara dan rakyat negeri sendirilah yang menjadi acuan siapapun. Dan Obama, seperti pula para presiden AS sebelumnya, memahami ini dan sudah pasti tak mengesampingkan momen-momen terpenting di dalam negeri.

Jadi, sebaiknya memang Indonesia tidak berlebihan mengumbar harapan, tetapi adalah juga salah jika terlalu skeptis melihat kunjungan ini. Acuannya tetap, yaitu kepentingan nasional dan kemandirian bangsa.

Meminjam kalimat terakhir editorial Media Indonesia edisi Jumat ini, "Jangan meremehkan atau menolak Obama, tetapi juga jangan mendewakan dia berlebihan. Biasa dan wajar-wajar sajalah." AR09/T010

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010