Jakarta (ANTARA News) - Juni 2010, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama berencana berkunjung ke Indonesia untuk --bersama masa lalunya-- "berziarah" ke negeri ini.

"Saya kangen Nasi Goreng, bakso, dan rambutan," kata Obama sebagaimana dikutip kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Beliau masih fasih berbahasa Indonesia, seperti `apa kabar` dan `nasi goreng`," kata Presiden Yudhoyono ketika transit di Seattle, sekembali dari menghadiri pertemuan APEC di Lima, Peru.

Rencana Presiden Obama berkunjung ke Indonesia telah beberapa kali batal. Pada 18 Maret, rencana kunjungan itu batal. Kunjungan yang direcanakan pada 23 Maret 2010, juga batal. Ujung-ujungnya, Juni 2010.

Tapi jika datang pada Juni, kunjungannya berbareng dengan peristiwa yang istimewa? Pada 11 Juni sampai dengan 11 Juli 2010, ada momen empat tahunan bernuansa kolosal, Piala Dunia 2010 yang dihelat di Afrika Selatan. Dua tamu hati bagi publik Indonesia.

Ada Obama yang sewaktu kecil pernah tinggal dan belajar di SD Asisi, Tebet, Jakarta, dan SD Negeri I Menteng, Jakarta. Obama berada di Indonesia periode 1967-1971 karena ibunya, Stanley Ann Dunham, menikah lagi dengan Lolo Soetoro asal Indonesia.

Ada pesta sepak bola akbar yang waktunya bak mesin waktu, terus bergulir sampai-sampai ada hitung mundur, dari hari, jam, menit dan detik. Nah, momen kedatangan Obama ke Indonesia dan Piala Dunia 2010 sama-sama mengusung ungkapan klasik Latin, waktu itu berlari (tempus fugit).

Yuups...jangan dulu mengajukan pertanyaan berbobot "pilih ini atau pilih itu". Obama atau Piala Dunia 2010? Belajarlah dari ungkapan, jangan lupakan sejarah. Realitasnya, Obama, yang memiliki ayah kandung asal Kenya, dikenal menyukai sepakbola, selain bola basket.

Bahkan, sepucuk surat bersaksi bahwa Presiden AS itu mendukung agar Amerika bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022. Bahkan, Obama sempat mengisahkan pengalamannya bermain sepakbola di jalanan ketika masih bersekolah di Indonesia.

Indonesia dengan sepak bola dan nasi gorengnya, Indonesia dengan bakso dan rambutannya, begitu menyasar ke dalam lubuk sejarah Obama.

Kecintaan akan olahraga menyejarah dalam lintas hidup Obama. Sampai-sampai Duta Besar Amerika Serikat (AS) mengirimkan dua paket bir pada Sabtu ke kediaman Perdana Menteri Kanada Stephen Harper karena Presiden AS itu nyatanya kalah taruhan dengan mitranya itu.

Obama kalah taruhan dengan Harper setelah Kanada mengalahkan AS dalam final hoki di Olimpiade Musim Panas lalu di Vancouver, sebagaimana dikutip dari AFP.

Kedua paket bir tersebut diletakkan di depan pintu kediaman PM Harper di Sussex Drive No. 24, pada saat makan pagi. Kanada mengalahkan AS dengan skor 3-2 dalam laga final yang berlangsung menegangkan pada 28 Februari. Kanada menyabet emas hoki putri untuk pertama kalinya dalam 30 tahun.

Baik Obama maupun Harper sama-sama menggenapkan ungkapan pujangga Latin Ovidius ketika ia diusir oleh Kaisar Agustus. Ia menulis, Anda baru akan bahagia pada waktu pada waktu Anda sudah mempunyai teman banyak (Donec eris felix, multos numerabis amicos).

Bukankah Obama datang ke Indonesia, bukan sebatas bernostalgia, melainkan ingin berdendang layaknya teman seperjalanan dalam laga kehidupan?

Di mata Obama, sepak bola yang diidolakannya mengerucut kepada makna ritual, artinya menyadarkan orang untuk hidup dengan kekuatan dan kelemahan dan keterbatasan tubuhnya, mengajar manusia untuk menghormati "realitas" apa adanya dari setiap laga, dari kalah, menang atau seri, menampilkan model kepahlawanan atau kepengecutan, dan merayakan kebersamaan.

Nilai-nilai liturgis dari sepak bola ini kemudian disanubarikan dalam keseriusan Obama, meski masih ada seberkas tanda tanya. "Piala Dunia di Afrika akan berjalan dengan baik, tidak ada keraguan. Dan orang yang mengatakan, `Ya kita bisa melakukannya,` (slogan kampanye Obama), akan berada di sana," kata presiden FIFA, Sepp Blatter.

Meskipun telah menyatakan kesediaannya memenuhi undangan FIFA, Obama belum 100 persen bakal hadir karena masih harus menyesuaikan diri dengan agenda kenegaraannya. "Presiden Obama menerima undangan untuk upacara pembukaan. Tentu saja jadwal seorang kepala negara dapat berubah, tapi ia mengatakan ia akan berada di sana jika ia bisa," sambung Blatter.

Sontak, Obama "merespons", pakailah dan nikmatilah kesempatan yang sekarang ada. Dalam istilah Latinnya, Obama berkata, Carpe Diem. Boleh-boleh saja, bila diimajinasikan bahwa Obama yang menyukai nasi goreng khas Indonesia menikmati laga hidup dengan bermodalkan nilai kebersamaan, kepahlawanan dan persahabatan global. Diplomasi nasgor, diplomasi Obama.

Bagaimana kalau menonton Piala Dunia 2010 yang memanggungkan aksi 32 tim terbaik di dunia, menikmati nasi goreng khas Indonesia menyambut Obama di Indonesia? Ini tiga kombinasi yang oke-oke saja karena telah diamanatkan dalam istilah etika, yakni menghitung "nilai" senang.

Adalah filsuf Inggris Jeremy Bentham yang menghitung tujuh matra dalam perhitungan nilai senang dalam hidup manusia (hedonic calculus), yakni intensitasnya, lamanya berlangsung, kepastiannya, kedekatannya dengan kecondongan pribadi, kesuburannya, kemurniannya dan keluasannya.

Adakah menikmati nasgor dan menyaksikan Piala Dunia 2010 memantik rasa senang, begitu pula dengan kedatangan Obama ke Indonesia? Dengan demikian, pertanyaan nonton Piala Dunia atau Obama justru tidaklah relevan. Di seberang sana, ada unsur kualitas dan unsur kuantitas.

Nasgor berkualitas, nasgor berkuantitas. Piala Dunia berkualitas, dan Piala Dunia berkuantitas. Mengapa tidak? Ini peninggalan dari faham atau aliran dalam filsafat moral yang menekankan prinsip manfaat atau kegunaan (the principle of utility). Tindakan yang secara moral benar adalah tindakan yang berguna.

Menyantap nasgor, nyam, nyam, nyam. Menonton Piala Dunia, hore....

A024/T010

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010