Jakarta (ANTARA News) - "Baculum", bahasa Latin yang artinya tongkat. Kalau tongkat diacungkan seraya disertai kata-kata ancaman kepada seseorang, maka simsalabim...terjadilah "argumentum ad baculum".

Hati-hati, tongkat ini akan beratraksi dan berdemonstrasi di tubuhmu bila tidak bersepaham dengan pendapatku, dengan pendapat kami. Waspadalah dengan teror.

Apakah "argumentum ad baculum" sama sebangun dengan teror? Ya, karena teror intinya paksaan untuk menerima suatu gagasan atau penalaran karena takut dihukum, dipenjarakan, bahkan dipersulit hidupnya.

Ketika seseorang membawa tongkat kemudian mengarahkannya kepada mereka yang dicap sebagai pembangkang, sebagai orang atau kelompok yang "mbalelo", maka mahfum saja, tongkat bicara habis perkara.

Kongres Sepak Bola Nasional (KSN), dihelat di Malang pada 30-31 Maret 2010, dibanderol oleh panitia senilai Rp2 miliar, tampak dibayangi cahaya "argumentum ad baculum". Secara "post factum", ada dua pernyataan dari dua pejabat yang mengesankan pendar-pendar argumentum ad baculum itu.

"Saya itu bukannya ingin mempertahankan kedudukan. Apalagi, tidak ingin diganti sebagai ketua umum PSSI. Semua kan ada mekanismenya," kata Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid yang dihubungi wartawan di Jakarta, Rabu (24/3) soal berkembangnya wacana pergantian pimpinan PSSI menjelang KSN di Malang pada 30-31 Maret 2010.

"Saya pasti dengan rela, melepaskan jabatan ketua umum melalui Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI. Tetapi kalau permintaan itu datang bukan dari anggota PSSI, bagaimana saya bisa menaatinya. Ini kan organisasi yang punya aturan. Perlu diketahui, statutsnya PSSI itu, telah disempurnakan sesuai statuta Federasi Sepak bola Internasional (FIFA)," kata pria kelahiran Watampone, Sulsel, 17 November 1958 itu.

Ia menggarisbawahi bahwa "Semua ada mekanismenya...", "...dan bagaimana saya bisa menaatinya. Ini kan organisasi yang punya aturan". Untuk menguatkan pernyataan bernuansa legal-formal itu, ia kemudian mengutip peneguhan bahwa status PSSI telah disempurnakan sesuai statuta Federasi Sepak bola Internasional (FIFA).

Pernyataan lain datang dari Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng yang mengkritik prestasi sepak bola Indonesia yang kian terpuruk. Menurut Kompas.com, kritik itu ia sampaikan ketika memberikan pidato pembukaan Kejuaraan Nasional Karate Piala KSAD X, Jumat (26/3) di Surabaya, Jawa Timur.

"Karate Indonesia sudah mampu berprestasi di tingkat Asia Tenggara dan bahkan Asia. Semoga sepak bola kita tidak kalah bersaing dengan cabang karate. Selama empat kali SEA Games terakhir, sepak bola kita hanya meraih nol emas, nol perak, dan nol perunggu," tutur Andi.

Adalah benar bahwa Tim Merah Putih selama empat kali SEA Games terakhir, hanya meraih nol emas, nol perak, dan nol perunggu, meski pertanyaan lanjutannya, bukankah dengan berkaca dari hasil memprihatinkan itu, publik pecinta sepak bola nasional berembuk dalam KSN?

Pernyataan Menpora itu bernuansa "non causa pro causa", artinya menganggap bahwa sesuatu itu sebagai sebab, padahal bukan sebab yang lengkap. Masih dapat diajukan pertanyaan, apakah sebanding atau setara menyejajarkan sepak bola dengan karate dalam kancah prestasi keolahragaan nasional dan regional?

Menpora justru menjawab dengan lugas dan bernas untuk mengobati sesat pikir logikanya. Ia berkata, "Tanpa bermaksud mendahului kongres, saya berharap apa pun rekomendasi yang dihasilkan nanti harus dijalankan. Saya berharap PSSI legowo menerima hasilnya".

Ada beda dari dua pernyatan pejabat itu. Pernyatan Nurdin bernada legal-formal (serba hukum, serba peraturan), sementara pernyataan Andi Mallarangeng berbobot real-formal, atau melihat kenyataan yang berkembang dalam KSN kemudian meminta "legowo" kepada mereka yang bertanggungjawab atas miskinnya prestasi sepak bola Indonesia.

Pernyataan Nurdin mengunci kepada krisis pemahaman bahwa pertimbangan hukum justru menyingkirkan hal-hal yang tak terkalkulasikan. Pertimbangan legal-formal memperoleh legitimasinya dari dirinya sendiri. Dengan kata lain, fondasinya berdasarkan definisi yang justru tidak berfondasi.

Kalkulasi nalarnya, hukum dan peraturan memang wajib melindungi seluruh warga, tidak mempedulikan apa pun latar belakang mereka. Di mata filsuf Jacques Derrida, "kita wajib menyadari itu sebagai momen kekerasan". Dengan kata lain, bagi Derrida, selalu ada yang tak terkalkulasikan ketika mengkalkulasikan hukum. Di seberang sana, masih ada keadilan.

Untuk itu, perlu dibedakan antara hukum dan keadilan, artinya dalam setiap keputusan hukum, kita tidak pernah dapat berkata bahwa hukum telah berlaku adil, bahkan seadil-adilnya. Hukum yang mempertimbangkan keadilan perlu menempatkan sisi tanggung jawab yang tidak terbatas kepada yang lain.

Nalarnya, hukum adalah penerapan keadilan, dan berusaha mewujudkan keadilan, tetapi hukum sendiri tidak pernah sama dan sebangun dengan keadilan. Inilah satu mutiara bagi KSN ketika merespons bayang-bayang sesat pikir "non causa pro causa" dan "argumentum ad baculum".

Mengapa kedua sesat pikir itu timbul membayangi KSN? Ada hegemoni makna yang mewujud dalam bahasa birokrasi yang ingin menyeragamkan sikap dan pikiran masyarakat. Daya kritisisme ditumpulkan, kalimat-kalimat eufimistik diselimuti kalimat-kalimat legal-formal.

Ujung dari kedua sesat pikir itu melahirkan penghalusan kata yang kerap terjadi, seperti kolusi menjadi kesalahan praprosedur, desa miskin menjadi desa tertinggal, kampanye menjadi temu kader, bahkan uang suap menjadi "vitamin".

Diartikulasikan dalam laga KSN, bakal banyak bertebaran kata-kata sarat muatan instruktif seperti pengarahan, pembinaan, sesuai petunjuk, juklak dan juknis. Inilah virus KSN!

Sastrawan Goenawan Mohammad menyebut virus penumpulan daya kritis masyarakat sebagai proses zombienisasi masyarakat. Artinya, masyarakat (baca: peserta KSN) menjadi semacam zombie (mayat hidup) karena birokrasi mendesakkan alat dan langgam berkomunikasi yang cenderung mengaburkan makna. Abrakadabra...jadilah mobilisasi massa.

Solusinya agar tidak terjangkit virus sesat pikir dalam KSN? Pertama, menyadari dan memahami bahwa sesat pikir mempunyai "daya bujuk" dan "daya tarik". Dengan begitu, peserta KSN diharapkan dapat terbebaskan, bukan justru terbelenggu oleh "sesuatu" yang tidak bernilai apa-apa, atau membelenggukan diri sendiri dengan menempuh jalan pintas serba instan.

Kedua, peserta KSN dapat membuka diri dengan jujur untuk menerima realitas sebagaimana adanya dengan tetap memegang prasyarat-prasyarat untuk merengkuh kebenaran demi kejayaan sepak bola Indonesia. Ketiga, peserta KSN dapat bersikap positif dan konstruktif, dengan membuang jauh-jauh hal-hal yang membedakan dan memisahkan.

Ilustrasi dari tiga solusi itu terpampatkan dalam pernyataan bening nan jujur. "Saya sudah pernah menjadi Ketua Umum PSSI. Selama kepemimpinan saya timnas sepak bola juga mengalami kegagalan," kata mantan Ketua Umum PSSI Agum Gumelar di sela persiapan KSN di Kantor Menpora Jakarta.

"Saya sudah tua dan pernah gagal. Jadi saya tidak ingin maju lagi seperti yang banyak orang kemukakan. Jika diminta membantu PSSI saya siap," katanya pula.

Sejumlah mantan pemain nasional yang bergabung dalam PPSN (Persatuan Pemain Sepak Bola Nasiona) seperti Anjas Asmara, Sarman Panggabean, Oyong Liza, dan Sinyo Aliandoe menilai perlu perombakan dalam tubuh PSSI. "Perlu ada revolusi dalam tubuh PSSI," kata Sarman usai bertemu Ketua Umum KONI-KOI Rita Subowo.

Ketika "argumentum ad baculum" mengintai KSN, maka satu kata saja: revolusi dengan hati bening nan jernih.(ANT/A024)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010