Kupang (ANTARA News) - Para peziarah Katolik dari berbagai belahan Nusantara mulai berdatangan di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk mengikuti Prosesi Jumat Agung, di ujung timur Pulau Flores itu.

Prosesi Jumat Agung yang akan berlangsung pada 2 April itu merupakan tradisi keagamaan yang sudah berjalan lima abad ketika koloni Portugis pertama kalinya menyebarkan agama Katolik di Flores Timur dan kepulauan sekitarnya.

Prosesi Jumat Agung di Larantuka berbeda dengan upacara keagamaan serupa di wilayah keuskupan lainnya.

Bagi umat Katolik di luar wilayah Keuskupan Larantuka, Prosesi Jumat Agung lebih bermuara pada penghayatan umat Kristiani akan kisah derita dan sengsara Yesus Kristus sampai akhirnya wafat di Kayu Salib.

Prosesi Jumat Agung di Larantuka, dihayati orang Nagi (sebutan khas untuk orang Larantuka) sebagai perenungan dalam mengikuti perjalanan Bunda Maria yang begitu berduka cita dalam menyaksikan penderitaan putraNya Yesus Kristus.

Atas dasar itu, patung Bunda Maria (Tuan Ma) diarak keliling Kota Larantuka pada Prosesi Jumat Agung tersebut, karena telah dinobatkan sebagai pelindung Kota Larantuka yang terletak di bawah kaki Gunung Ile Mandiri itu.

Patung Tuan Ma itu diyakini sebagai penjelmaan langsung dari Bunda Maria ketika pertama kali ditemukan oleh Resiona, seorang penduduk asli Larantuka di bibir Pantai Larantuka.

Konon, Resiona yang menurut legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih di Pantai Larantuka sekitar abad ke-15, dibawa koloni Portugis ke Malaka untuk belajar agama Katolik.

Tatkala kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan gereja yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk Larantuka.

Pada 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.

Ketika tongkat kerajaan diserahkan kepada Bunda Maria maka Larantuka sepenuhnya menjadi Kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.

Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari atau dalam perlindungan Bunda Maria.

Bagi orang Larantuka, Prosesi Jumat Agung mempunyai sentuhan khas sejak proses Semana Santa, dimulai dari Minggu Palma (28/3) sampai dengan Sabtu Santo atau sehari sebelum Minggu Paskah (3/4), yang diyakini umat Kristiani sebagai hari Kebangkitan Yesus Kristus.

Sejarah juga mencatat bahwa semenjak kedatangan Portugis pada abad XV-XVI, pengaruh negeri itu mulai tertanam dalam proses kehidupan masyarakat Larantuka.

Satu peninggalan terbesar dan tetap tinggal dan dilanjutkan hingga dewasa ini adalah pelaksanaan Ritus Prosesi Jumat Agung pada musim Paskah setiap tahun.

"Terima kasih masyarakat Flores Timur, khususnya masyarakat di Kota Reinha Larantuka yang masih tetap teguh memelihara ritual keagamaan tersebut hingga kini," komentar Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kung.

Sebelum dilaksanakan Prosesi Jumat Agung, mulai Kamis malam hingga Jumat siang, umat diberi kesempatan berdoa dan mencium Tuan Ma di Kapela Tuan Ma, serta berdoa dan mencium Tuan Ana (Patung Yesus) di Kapela Tuan Ana.

Pada Kamis isang di Larantuka, menurut Wakil Bupati Flores Timur Yosep Laga Doni Herin yang dihubungi dari Kupang, umat Katolik dan para mardomu (semacam panitia kecil) setempat sedang melakukan kegiatan Tikan Turo atau menanam tiang-tiang lilin sepanjang jalan raya yang menjadi rute Prosesi Jumat Agung pada 2 April 2010.

Prosesi Jumat Agung menjadi arak-arakan yang begitu semarak dan sakral. Sejak keluar dari gereja Katedral Larantuka, para "ana muji" atau koor melagukan popule meus yang berisikan tentang keluhan Allah akan rahmat dan kebaikan-Nya yang disia-siakan umat.

Sementara puteri-puteri Yerusalem meratapi penderitaan dan kesengsaraan Kristus dalam alunan ejus domine....

Di setiap Armida (perhentian), dalam keheningan nan bening, ketika semua doa dan lagu dihentikan berkumandanglah ratapan Kristus yang memilukan..."O vos omnes est dolor sicut dolor meus?" (Wahai kalian yang melintas di jalan ini adakah deritamu sehebat deritaku?).

Lagu pilu nan menyayat kalbu itu dinyanyikan oleh seorang perempuan berkerudung biru, sembari secara perlahan-lahan membuka gulungan berlukiskan ecce homo atau wajah Yesus bermahkota duri yang berlumuran darah.

Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka itu menyinggahi delapan buah Armida, yakni Armida Missericordia, Armida Tuan Meninu (armada kota), Armida St Philipus, Armida Tuan Trewa, Armida Pantekebi, Armida St Antonius, Armida Kuce dan Armida Lohayong.

Urutan Armida ini menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai dari ke AllahanNya (missericordia), kehidupan manusiaNya dari masa bayi (Tuan Meninu), masa remaja (St Philipus) hingga masa penderitaanNya sambil menghirup dengan tabah dan sabar seluruh isi piala penderitaan sekaligus piala keselamatan bagi umat manusia.

Tradisi keagamaan itu sudah berlangsung lima abad sehingga membuat Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kung hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada umat Katolik di Kota Reinha Larantuka yang masih tetap teguh memelihara ritual keagamaan tersebut hingga kini.(L003/S018)

Oleh Lorensius Molan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010