Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) periode 2005-2010 yang demisioner, Guruh Soekarnoputra, kembali menegaskan bahwa partai berlambang kepala banteng bermoncong putih itu bukan partai trah Soekarno, apalagi milik keluarga atau sebuah oligarki tertentu.

Penegasan ulang ini dinyatakan resmi melalui dua staf politiknya, Tri Cahya Budi dan Ismail Arief, kepada ANTARA News di Sanur, Bali, Kamis, di sela-sela penyelenggaraan Kongres ke-3 PDIP.

Pernyataan itu untuk menanggapi kesimpulan Taufiq Kiemas bersama Puan Maharani (putri Megawati Soekarnoputri dan Taufiq Kiemas) yang seolah-olah PDIP merupakan buah kerja mereka sejak 1987, sebagaimana ditayangkan sebuah stasiun televisi, Rabu (7/4) malam.

"Mas Guruh cukup prihatin dengan sikap itu, karena menurut beliau, PDI Perjuangan sesungguhnya benar-benar lahir sebagai partai rakyat sejati dengan garis ideologi yang tegas, yakni menjalankan ajaran-ajaran Bung Karno," ulas Tri Cahya Budi lagi.

Padahal, sambungnya, kiprah keluarga Bung Karno di tengah politik injak kaki pada era rezim Soeharto bukanlah dimulai oleh Taufiq Kiemas, apalagi Puan Maharani yang mungkin saat itu masih di tingkat Sekolah Dasar.

Ia menjelaskan, semuanya berawal dari kiprah Guntur Soekarnoputra yang menggelar sejumlah Pameran Buku serta Pemikiran Bung Karno di Jakarta hingga Semarang pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, lalu disusul dengan itu adanya aksi-aksi spektakuler Guruh Soekarnoputra bersama kelompok Swara Mahardika.

Hampir berbarengan dengan itu, Rachmawati Soekarnoputri juga menggebrak dengan mengelola sejumlah yayasan (Yayasan Bung Karno) guna meneruskan kiprah Guntur Soekarnoputra, Yayasan Pendidikan Soekarno yang kemudian mendirikan Universitas Bung Karno medio 1980-an, lalu diikuti Sukawati Soekarnoputri lewat sejumlah aksi politiknya.

Keempat putra putri Proklamator Kemerdekaan RI Bung Karno bersama ibu Fatmawati itulah yang benar-benar berani tampil beda di era sangat otoriter pada waktu itu, bersama salah salah satu organisator pergerakan rakyat, Yano Bolang yang kini almarhum.

"Nanti sesudah mereka tampil, baru Mbak Mega yang diikuti Taufiq Kiemas muncul ke permukaan dengan menggunakan kendaraan Partai Demokrasi Indoensia (PDI) pimpinan Pak Suryadi di akhir 1980-an. Itu fakta sejarahnya," demikian pernyataan mereka.

Menurut Tri Cahya Budi, aksi paling spektakuler justru dimainkan oleh Guruh Soekarnoputra yang dengan Swara Mahardika saat disebut memerahkan atau membuat aksi massa berwarna merah di Jakarta pada 1987.

"Itu membuktikan Mas Guruh ini memang konsisten sejak awal dalam dunia politik dengan menggunakan jalur seni sebagai alat perjuangan, karena keluarga Bung Karno waktu itu terus dikekang tidak bisa terjun berpolitik praktis. Ini sekaligus membantah pernyataan Puan dan kawan-kawan bahwa Mas Guruh hanya bergerak di dunia seni," ujarnya.

Ia menilai, mereka yang berpendapat begitu benar-benar telah terjebak pada pemikiran pragmatis.

"Yakni bahwa seni hanya untuk seni. Padahal, di sini adalah seni untuk perjuangan dan pergerakan rakyat. Itulah politik yang sesungguhnya, yang dimainkan Mas Guruh yang konsisten dengan garis ideologi Bung Karno," ujarnya,

Ia menimpali, "Jadi, dia bukan orang baru di dunia politik. Mungkin yang bicara itulah yang masih pemula dan diragukan eksistensinya di dunia politik yang hanya untuk menjadikan itu tiket ke kancan kekuasaan dengan meninggalkan sifat ciri hakiki sebagai kader pro-wong cilik."

Sementara itu, Ismail Arief mengatakan, Guruh Soekarnoputra pun tidak bereaksi ketika ada informasi dari forum Kongres Ke-3 PDI Perjuangan tentang penawaran untuk menjadikan dirinya memimpin Majelis Ideologi.

Majelis Ideologi merupakan salah satu lembaga baru hasil kongres yang sengaja diadakan untuk mengawal perjalanan pergerakan politik partai, agar tetap berada di alur ideologis ajaran Bung Karno, yakni Pancasila 1 Juni 1945, Undang Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Memang informasi penawaran itu tidak jelas dari mana, apalagi ada informasi terakhir pagi ini bahwa akhirnya Mbak Mega kemungkinan akan mengambil alih memimpin langsung majelis tersebut, setelah mendengar Mas Guruh bakal menolak penawaran tersebut," katanya.

Jika Megawati Soekarnoputri jadi memimpin lembaga baru ini, lalu mungkin Taufiq Kiemas tetap menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) dan Puan Maharani di posisi Sekjen, maka Ismail Arief serta Tri Cahya Budi menilai, hal itu semakin memperjelas perilaku ambisiusnya kelompok tersebut.

"Ini kan mempermalukan keluarga Bung Karno, dan karenanya Mas Guruh sejak awal telah mengambil sikap tegas, tidak mau hadir di tengah arena kongres itu yang menurut beliau sarat nuansa inkonstitusionalnya," ujar Ismail Arief.

Kedua staf politik Guruh Soekarnoputra itu kemudian kembali menegaskan soal ketidakinginan menghadiri Kongres Ke-3 PDI Perjuangan, karena perhelatan itu penuh dengan rekayasa.

"Semuanya telah diseting dari atas, baik dengan cara-cara intimidasi, manipulasi surat keputusan pembentukan mulai dari tingkat anak-anak cabang, bahkan ada dugaan permainan politik uang. Mas Guruh menilai ini sangat jauh dari praktik sebuah partai ideologi yang benar," ungkapnya.

Oleh karena hal itulah, Ismail Arief mengemukakan, Guruh Soekarnoputra memutuskan tidak hadir di kongres, dan lebih memilih memenuhi undangan sejumlah konstituen dari ranting yang merupakan para wong cilik.

"Sebab, menurut beliau, seharusnya kaum wong cilik inilah yang menjadi keperdulian partai serta harus diutamakan, sebagaimana garis ideologi yang dianut. Tidak seperti sekarang, diabaikan oleh kongres suaranya," demikian Ismail Arief.
(T.M036/P003)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010