Jakarta (ANTARA) - Para wanita yang punya riwayat persalinan dengan bayi besar bisa berisiko mengalami prolaps organ panggul (POP) yang gejalanya bervariasi mulai dari keluhan benjolan pada vagina hingga nyeri saat melakukan hubungan intim. Sebenarnya apa itu POP?

Posisi rahim yang seharusnya berada tepat di atas vagina bisa berubah, menurun ke vagina dan hal ini dapat disertai penurunan organ panggul lainnya. Kondisi rahim yang turun biasa dikenal dengan turun peranakan yang merupakan bagian dari penurunan atau prolaps organ panggul (POP) secara keseluruhan.

Baca juga: Kepala BKKBN: Literasi menstruasi dan kespro masih rendah

Baca juga: Mengenal tren mengencangkan organ kewanitaan dengan suntik "stem cell"


Dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan uroginekologi RS Pondok Indah – Pondok Indah, Astrid Yunita dalam siaran tertulisnya, Sabtu mengungkapkan, POP bisa terjadi pada wanita di usia berapapun, meski kondisi ini lebih banyak dialami oleh wanita pada usia setelah menopause, atau wanita yang pernah melahirkan normal.

Umumnya, prolaps dapat meliputi tiga area berdasarkan segmen dinding vagina yang mengalami penurunan, yakni pada dinding vagina anterior (urethrokel, sistokel), dinding vagina posterior (rektokel, enterokel) dan dinding vagina apikal (leher rahim/serviks, rahim/uterus, puncak vagina).

Prolaps pada rahim diklasifikasikan menjadi empat, yaitu penurunan sampai dengan setengah panjang vagina (stadium 1), penurunan lebih jauh dari stadium 1 hingga batas himen (selaput dara) atau tepi vagina sehingga dapat terlihat pada, atau setinggi celah vagina (stadium 2), sebagian besar penurunan sudah melewati selaput dara dan berada di luar vagina (stadium 3) dan penurunan maksimum dari setiap kompartemen organ pelvik (stadium 4).

Penyebab prolaps organ panggul
Menurut Astrid, penyebab dan faktor risiko terjadinya prolaps umumnya multifaktoral atau dapat lebih dari satu penyebab, yang meliputi beberapa faktor risiko yang terjadi secara bersamaan, antara lain: genetik dan ras, berkaitan dengan kolagen dan elastin yang mempengaruhi kualitas jaringan penyokong pelviks.

Lalu, riwayat kehamilan dan persalinan misalnya kehamilan berulang, riwayat kehamilan dan persalinan dengan bayi besar, riwayat persalinan berbantu dengan alat vakum/forceps.

Faktor lainnya, riwayat pembedahan seperti angkat rahim, operasi prolaps sebelumnya, terapi yang mengganggu persarafan pelviks, misal terapi radiasi, trauma akibat kecelakaan, kemudian obesitas, konstipasi, pekerjaan atau aktivitas fisik serta kebiasaan angkat berat, penyakit paru kronik atau batuk kronik.

Selain itu, bisa juga akibat tumor abdomen, tumor rongga pelviks dan penumpukan cairan di rongga perut, penuaan, menopause, status estrogen serta kebiasaan merokok.

Baca juga: PPI terus dorong kampanye kesehatan reproduksi di tengah pandemi

Baca juga: Laki-laki juga perlu cek kesehatan reproduksi

Baca juga: Vitamin A bermanfaat untuk kesehatan tulang hingga reproduksi

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2020