Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi dari UGM, Ichsanuddin Noorsy mengingatkan, semua pihak agar mewaspadai lobi-lobi Jepang ke pemerintah atau pejabat Indonesia untuk memperpanjang kontrak proyek aluminium, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

"Jepang memang selalu begitu. Mereka memakai setidaknya tiga kementeriannya untuk melobi pejabat-pejabat kita," ujarnya di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, Pemerintah Jepang yang didukung perusahaan swastanya berkepentingan agar Inalum yang berlokasi di Kabupaten Batubara, Sumut, tidak dikembalikan ke Indonesia setelah kontraknya berakhir pada 2013.

"Kalau proyek Inalum kemudian diperpanjang, maka pejabat kita yang mengambil keputusan itu benar-benar tidak punya kepercayaan diri," katanya.

Saat ini, pemerintah tengah menegosiasikan nasib proyek Inalum tersebut dengan pihak Jepang.

Ichsan meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan langsung dengan memutuskan tidak memperpanjang kontrak Inalum dan menyatakan akan mengelola sendiri pascahabis kontrak pada 2013.

Ia juga mengatakan, rencana pembentukan usaha patungan Indonesia dan Jepang sebagai pengelola selanjutnya, juga tetap saja merugikan.

"Tak ada gunanya. Kuncinya, putus hubungan dan kita kelola sendiri," ujarnya.

Inalum didirikan di Jakarta 6 Januari 1976 berdasarkan Perjanjian Induk (Master of Agreement) yang diteken 7 Juli 1975 di Tokyo.

Pemerintah RI saat itu meneken perjanjian dengan 12 perusahaan swasta Jepang.

Mereka adalah Sumitomo Chemical Company Ltd, Sumitomo Shoji Kaisha Ltd, Nippon Light Metal Company Ltd, C Itoh & Co Ltd, dan Nissho Iwai Co Ltd. Selain itu, Nichimen Co Ltd, Showa Denko KK, Marubeni Corp, Mitsubishi Corp, dan Mitsui Aluminium Co Ltd.

Sebanyak 41 persen saham Inalum dimiliki Indonesia, sisanya 59 persen milik Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan 12 perusahaan yang meneken kesepakatan.

Kontrak Inalum akan berakhir pada 2013. Sesuai ketentuan yang diteken dalam perjanjian, tiga tahun sebelum masa kontrak berbentuk "build, operate, and transfer" (BOT) itu berakhir, semua pembayaran utang harus lunas.

Investasi proyek raksasa Asahan sejak 1976 menelan dana sekitar 400 miliar yen atau setara Rp50 triliun dengan modal pinjaman dari Jepang.

Ichsan menilai, sejak Inalum berdiri, Indonesia telah menyubsidi Jepang baik sumberdaya alam, biaya yakni pasokan listrik, maupun barang olahan aluminium berkualitas tinggi yang diekspor ke Jepang.

"Jepang untung, kita rugi," katanya.

Ia juga mengatakan, bunga pinjaman yang diberikan Jepang untuk proyek Inalum tidaklah murah.

"Bunga di tempat mereka (Jepang) memang hanya 0,1 persen, namun dijual ke Indonesia 1 persen atau naik 10 kali lipat," kata Ichsan.

"SDM kita mampu mengelola Inalum. Jangan pernah menyerahkan satu persen pun aluminium ke Jepang. Aluminium sangat diperlukan di Indonesia," katanya.

Saat ini, dari produksi aluminium batangan (ingot) Inalum yang mencapai 250 ribu ton, sebanyak 60 persen diekspor ke Jepang dan sisanya, 40 persen, selain untuk domestik juga diekspor ke negara di luar Jepang.

Di pasar domestik, pada 2007, tercatat Inalum menjadi sumber pasokan aluminium bagi setidaknya 65 perusahaan.

Pada 2008, Inalum membukukan laba bersih 85 juta dolar AS dari total penjualan 548 juta dolar AS dan tahun lalu, laba bersih Inalum diproyeksikan 120 juta dolar AS. (K007/A024)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010