Bunyu Barat (ANTARA News) - Komariah (26 tahun) sudah berobat ke dokter Puskesmas Pulau Bunyu berkali-kali, tetapi penyakit kulitnya tak kunjung sembuh.

Ibu tiga anak dari kelurga sederhana ini mengaku sudah berobat ke rumah sakit di Tarakan, tetapi penyakit yang dideritanya sejak 2009 juga belum sembuh.

"Ketika gatal datang, perih sekali rasanya," ujar Komariah ketika memberikan penjelasan kepada ANTARA News saat mengunjunginya di Jalan Bengkel Sakti RT 02/RW 1, Desa Bunyu Barat, Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur (Kaltim).

Jika dilihat secara keseluruhan kediaman Komariah dan suaminya, Abdul Mutolib, tergolong bersih. Dinding dan lantai banyak didominasi kerangka kayu dan atap seng. Sementara ventilasi dilapisi dengan kawat nyamuk.

Komariah tergolong apik. Ia tak bekerja, hanya mengasuh anak. Di kediamannya itu ternyata ia tak sendiri menderita penyakit kulit. Puterinya, Zulhafitsa (7) juga menderita penyakit serupa.

Sudah dua tahun terakhir Zulhafitsa terserang penyakit kulit.

"Sama seperti saya," kata Komariah sambil menggendong bayinya, Tridewi Ananda.

Ia berharap suaminya dan seorang anak lagi, Muzdalifah dapat terhindar dari penyakit itu. Apa awal dari penyakit kulit yang mendera keluarganya itu, ia sendiri tak tahu.

Sementara itu, tak jauh dari lokasi kediaman Komariah, rekannya Rusmiati (20) menderita sesak napas disertai batuk dan mata pedih pada bagian kiri.

Keluhan Rusmiati memang tak seberat Komariah, namun jika dicermati dari aspek lingkungan ada titik kesamaan bahwa mereka banyak mengkonsumsi air hujan.

"PDAM atau air pam memang ada, tapi kita kadang juga minum air hujan," kata Rusmiati.

Seperti pada umumnya warga di Pulau Bunyu lainnya, mengkonsumsi air hujan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Tatkala hujan datang, air ditampung di gentong atau tempayan yang disalurkan dari atap (seng) rumah ke talang atau pipa pralon.

Air yang ditampung itulah kemudian dijadikan sebagai air minum, kadang ada juga digunakan untuk mandi.

"Memang ada air gentong sebelum dikonsumsi dimasak terlebih dahulu," kata seorang warga di Bunyi.

Air hujan hitam

Datangnya penyakit kulit dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas), menurut beberapa warga bersamaan dengan beroperasinya perusahaan tambang batu bara, PT. Adani Global.

Perusahaan tersebut kini sedang giat-giatnya mengeruk batu bara muda dari bumi Pulau Bunyu. Disebut batu bara muda lantaran batu bara yang diekspor ke India tersebut kalorinya masih rendah.

Jika dilihat dari kawasan Bunyu, pengerukan tak disertai penghijauan. Kalaupun ada, hal itu dilakukan seadanya dengan tanaman pengganti tak semestinya, ungkap warga setempat.

Sepintas, air memang terlihat jernih. Tetapi ketika sudah masuk bak penampungan, air hitam pekat.

Di sisi lain, warga setempat mendapati atap seng kerap hitam tatkala disentuh tangan. Hal ini erat kaitannya dengan beroperasinya perusahaan tambang batu bara di Pulau Bunyu.

Jelas, hal ini mempengaruhi ekosistem setempat. Belum lagi ketika hujan datang, air hujan yang ditampung tak bening lagi. Bagi warga yang ekonominya pas-pasan, keadaan inilah yang memaksa harus mengkonsumsi air hitam pekat tersebut.

"Ya tak punya pilihan," kata Komariah.

Beberapa dokter muda di Puskesmas Bunyu tak berani menyimpulkan bahwa maraknya penyakit ISPA dan kulit di daerah tersebut lantaran beroperasinya perusahaan tambang batu bara.

Namun diakui sebelum perusahaan itu beroperasi, masyarakat jarang mengeluh menderita sakit karena ISPA atau kulit.

Untuk menyebut bahwa perusahaan tersebut telah menimbulkan dampak negatif, perlu penelitian lebih dalam, kata drg. Sukma, Kepala Puskesmas Bunyu.

Selama Maret 2010, penyakit ISPA di Puskesmas Bunyi menempati urutan tiga besar 125 kasus dan penyakit infeksi kulit sebanyak 41 kasus, belum termasuk alergi (61 kasus) dan penyakit lain yang disebabkan kerusakan lingkungan.

Kasus lama

Sejak beroperasinya perusahaan tambang batu bara di kawasan tersebut, warga Pulau Bunyu (sekitar 15 ribu jiwa) seolah dimanjakan. Beberapa ruas jalan kerap berdatangan mobil tanki pembawa air bersih yang dibagikan ke rumah warga.

Jalan raya yang banyak dilintasi kendaraan proyek sering disiram agar debu jalan raya tak bertebaran ke kediaman pemukiman.

Di sisi lain, Pertamina yang telah lama menambang minyak di sekitar pulau tersebut ikut terganggu. Pasalnya, situ atau tandon air sebagai air baku untuk konsumsi warga, terancam ditutup atau diurug.

Perluasan lahan untuk dikeruk semakin lebar terjadi di Pulau Bunyu. Belakangan, terdengar perundingan antara Pertamina dengan manajemen Adani Global, agar lahan konsesi Pertamina, termasuk ruas jalan yang dibangun sebelumnya, disepekati agar dipelihara.

Namun kesepakatan tersebut hanya jadi "macan kertas", karena pelaksanaannya jauh dari harapan. Lingkungan Pulau Bunyu makin habis tanpa mengindahkan aspek lingkungan hidup. Perusahaan batu bara kurang mengindahkan kesepakatan yang dibangun.

Yang jelas, kata seorang warga setempat, bisa jadi pulau sekecil itu bakal terbelah karena sistem pengerukan batu bara mengabaikan kelestarian lingkungan.

Memang, kasus perusahaan tambang batu bara mencemari lingkungan bukan hal baru di Kaltim. Sebelumnya, sebuah perusahaan tambang batu bara yang pemilik saham dari India mencemari sebuah sungai di Kabupaten Kutai Timur. Sejumlah warga mengalami penyakit kulit saat air digunakan untuk mandi.

Manajemen perusahaan PT. Damanka Prima Coal Mining, yang bertanggung jawab dalam mengelola lahan batu baru, lantas berdialog dengan warga untuk mencarikan jalan terbaik mengatasi persoalan tersebut. Lantas manajemen perusahaan bersedia bersama warga melihat langsung kondisi Sungai Batota yang diduga tercemar itu.

Kawasan Batota terletak sekitar 28 kilometer dari ibu kota Kabupaten Kutai Timur, yakni Sangatta. Kawasan Batota berada pada kawasan perbatasan antara wilayah Kecamatan Sangatta dan Kecamatan Bengalon (Kutai Timur).

Usai melakukan peninjauan lapangan, akhirnya kedua belah pihak mengadakan pertemuan di kantor operasional PT. Damanka Prima yang berada pada Kilometer 28 Jalan Lintas Kalimantan di Kaltim.

Pertemuan itu, menghasilkan kesepakatan yang dianggap warga sebagai sikap manajemen perusahaan yang bersedia bertanggung jawab terhadap dugaan masalah pencemaran tersebut.

"Sebagai tanggung jawab, maka perusahaan akan menyediakan sumur untuk dimanfaatkan warga memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujar Nata Pratama, mewakili pihak manajemen perusahaan batubara itu.
(T.E001/A011/P003)

Oleh Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010