Teheran (ANTARA News) - Pemimpin oposisi Iran Mir Hossein Mousavi mendesak 17 tahanan politik mengakhiri mogok makan yang kabarnya mulai dilakukan 12 hari lalu untuk memprotes perlakuan terhadap mereka oleh pihak berwenang penjara, kata situs berita oposisi, Jumat.

AFP melaporkan, kelompok yang ditahan di penjara Evin, Teheran, menyusul kisruh pemilihan presiden tahun lalu,, mencakup sejumlah wartawan reformis dan aktivis mahasiswa ternama.

Mousavi, yang memimpin kampanye anti-pemerintah sejak pemilu Juni 2009, memuji para pemogok makan itu atas "perlawanan mereka dan pembelaan pada tuntutan sah dan manusiawi".

"Pesan anda telah didengar di dalam dan luar negeri. Masyarakat khawatir atas kesehatan anda dan kami ingin anda semua mengakhiri mogok makan anda," kata Mousavi dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di situs beritanya, Kaleme.com.

"Kami juga mendesak para pejabat penjara menghormati semua hak tahanan sesuai dengan hukum yang ada dan tidak mempermalukan negara di mata negara lain," katanya.

Laporan-laporan di situs berita oposisi menyebutkan, mogok makan itu dilakukan karena perselisihan antara sejumlah tahanan dan sipir menyangkut perlakuan terhadap keluarga mereka yang datang berkunjung pada 26 Juli.

Sejumlah tahanan melakukan protes setelah dipindahkan ke sel tersendiri dan yang lain mengikuti aksi itu, kata situs-situs Kaleme dan Rahesabz.net, Senin.

Mereka menyatakan beberapa orang dirawat di rumah sakit dan memperingatkan bahwa "kondisi yang lain memburuk".

Para pelaku mogok makan itu dipenjara sejak mereka ditangkap setelah protes yang meletus pasca pemilihan presiden pada 2009.

Iran dilanda pergolakan besar setelah pemilihan umum tahun lalu yang disengketakan.

Ratusan reformis ditahan dan diadili dalam penumpasan terhadap oposisi pro-reformasi setelah pemilihan umum presiden 12 Juni 2009 yang dipersoalkan, yang disusul dengan kerusuhan terbesar dalam kurun waktu 31 tahun.

Dua calon presiden yang kalah, Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, mantan ketua parlemen yang berhaluan reformis, bersikeras bahwa pemilihan Juni itu dicurangi untuk mendudukkan lagi Mahmoud Ahmadinejad ke tampuk kekuasaan.

Meski ada larangan protes dan penindakan tegas dilakukan oleh aparat keamanan, para pendukung oposisi berulang kali memanfaatkan acara-acara umum untuk turun ke jalan.

Delapan orang tewas dan ratusan pendukung oposisi ditangkap dalam demonstrasi paling akhir pada 27 Desember, ketika ribuan pendukung oposisi melakukan pawai semacam itu.

Sejumlah reformis senior, aktivis, wartawan dan yang lain yang ditangkap setelah pemilu Juni itu dikabarkan masih berada di dalam penjara dan beberapa telah disidangkan atas tuduhan mengobarkan kerusuhan di jalan. Oposisi mengecam persidangan itu.

Termasuk yang diadili adalah pegawai-pegawai kedutaan besar Inggris dan Perancis serta seorang wanita Perancis yang menjadi asisten dosen universitas.

Sejauh ini sudah sejumlah orang yang dijatuhi hukuman mati dan puluhan orang divonis hukuman penjara hingga 15 tahun.

Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengecam protes pasca pemilu itu dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada Ahmadinejad dan mengumumkan bahwa pemilihan itu sah, meski dipersoalkan sejumlah pihak.

Kubu garis keras di Iran menuduh para pendukung oposisi, yang turun ke jalan-jalan untuk memprotes pemilihan kembali Ahmadinejad sebagai presiden, didukung dan diarahkan oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya AS dan Inggris.

Para pemimpin dunia menyuarakan keprihatinan yang meningkat atas kerusuhan itu, yang telah mengguncang pilar-pilar pemerintahan Islam dan meningkatkan kekhawatiran mengenai masa depan negara muslim Syiah itu, produsen minyak terbesar keempat dunia.

Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang telah membawa Iran ke arah benturan dengan Barat selama masa empat tahun pertama kekuasaannya dengan slogan-slogan anti-Israel dan sikap pembangkangan menyangkut program nuklir negaranya, dinyatakan sebagai pemenang dengan memperoleh 63 persen suara dalam pemilihan tersebut.

Para pemimpin Iran mengecam "campur tangan" negara-negara Barat, khususnya AS serta Inggris, dan menuduh media asing, yang sudah menghadapi pembatasan ketat atas pekerjaan mereka, telah mengobarkan kerusuhan di Iran.

Sejumlah pejabat Iran mengatakan bahwa 36 orang tewas selama kerusuhan itu, namun sumber-sumber oposisi menyebutkan jumlah kematian 72. Delapan orang lagi tewas selama protes anti-pemerintah pada 27 Desember, menurut data resmi.
(M014/A038)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010