Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Politik Ari Junaedi mengatakan rekonsiliasi bagi pelarian politik 65 (eksil) yang kini berada di luar negeri diperlukan guna menghilangkan dendam politik masa lalu dan meluruskan kesalahan kebijakan rezim orde baru.

"Afrika Selatan bisa rukun kembali berkat rekonsiliasi tetapi mengapa bangsa kita masih memendam amarah sejarah masa silam? Seharusnya mereka mendapat rehabilitasi atau pemulihan nama baik karena di masa silam akibat kebijakan pemerintah yang tiran, mereka disamaratakan sebagai anasir komunis. Cukup sudah derita yang dialami para eksil," kata Ari di Jakarta, Kamis.

Ari yang memperoleh gelar doktor dari Universitas Padjajaran setelah mempertahankan disertasinya mengenai para pelarian politik 1965 tersebut mengatakan, para eksil tersebut masih menginginkan untuk dapat kembali pulang.

"Orang-orang pelarian poltik (eksil) tragedi 1965 di luar negeri, masih berharap bisa menjadi warga negara Indonesia dan meninggal dunia di Indonesia," kata Ari yang melakukan kontak langsung dengan para eksil tersebut.

Ia mengatakan, mereka menjadi pelarian politik karena dipaksa oleh kondisi politik. Ia menjelaskan, para pelarian politik tersebut merupakan mahasiswa dan duta besar yang dikirim oleh Presiden Soekarno ke luar negeri.

Menurut dia, Presiden Soekarno saat itu gandrung akan politik keseimbangan, sehingga sangat antusias dengan kemajuan keilmuan dari Eropa Timur dan RRT.

Oleh karena itu, arus pengiriman mahasiswa ikatan dinas (mahid) Indonesia sebelum tahun 1965 ketika itu lebih banyak ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Uni Sovyet selain ke negara-negara Blok Timur.

Ia mengatakan, mereka dikirim untuk belajar mulai dari "broadcasting", farmasi, ilmu persenjataan, koreografi, ilmu-ilmu dasar bahkan seni hingga akupuntur. Mereka tidak saja tingkat sarjana S1, tetapi juga mahasiswa Indonesia juga melanjutkan ke jenjang master dan doktoral.

"Sayangnya ketika tragedi 1965 meletus, pemerintah Orde Baru mengultimatum mereka untuk segera pulang dan mengikrarkan kesetiaan kepada rezim Soeharto melalui kedutaan dan perwakilan Indonesia di negara-negara tempat mereka berada," katanya.

Kebijakan "keras" Presiden Soeharto tersebut, menurut dia, tidak serta merta dipahami para mahasiswa yang tengah studi maupun perwakilan Indonesia dan anggota delegasi yang tengah muhibah.

"Bagi para loyalis Bung Karno, pulang kembali ke tanah air sama saja mengingkari tujuan pengiriman mahid mengingat mereka sebagian besar belum menuntaskan pendidikannya. Sedangkan yang menganut paham kekiri-kirian, pulang sama saja dengan menyetorkan nyawa mengingat ketika itu di tanah air tengah terjadi kebencian yang luar biasa terhadap PKI dan organ-organ mantelnya," katanya.

Ia mengungkapkan, beberapa duta besar Indonesia seperti AM Hanafi di Kuba, Sukresno di Rumania, Ajitorop di RRT, Suraedi Tahsin di Mali, Alamsyah Hanafiah di Srilanka memilih tidak pulang karena kesetiannya pada Bung Karno dengan memilih bertahan di negara penempatannya.

Ia mengatakan, para pelarian politik tersebut, selain ada yang tetap bertahan di negara juga banyak yang memilih hidup di negara lain yang mau menampungnya.

Seiring dengan perubahan politik di Uni Sovyet dan RRT, para eksil banyak memilih hidup di negara-negara Barat. Selain ingin menggapai kesejahteraan, alasan penerimaan negara penampung juga menjadi pilihan para eksil.

"Swedia dan negara-negara Skandinavia seperti Norwegia sangat menghargai sekali aspirasi ideologis. Sedangkan negara-negara Barat seperti Perancis sungguh menghargai penghargaan hak azasi imigran. Kalau yang masih tetap bertahan di Kuba atau pecahan-pecahan Uni Sovyet, karena sudah tidak ada pilihan lagi," katanya.

Ia mengatakan, berdasarkan penelitiannya, setidaknya 1.500 orang keluarga eksil 1965 yang tersebar di berbagai negara. Mereka ada yang sukses meniti karir di bidang pekerjaannya tetapi ada juga yang bernasib tragis di negeri orang.(*)

(T.M041/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010